l i m a

111 15 11
                                    

"Oke, kita duluan ya, Gar," pamit Yandi, Fandi dan Nessa.

Mereka keluar dari kedai jus meninggalkan Edgar yang masih ingin tinggal. Sebenarnya, Edgar juga ingin pulang, tapi ada sebagian kecil dari dirinya meminta untuk tetap tinggal.

Jadi, di sinilah Edgar sekarang. Duduk disebuah kedai jus di bagian pojok kanan ditemani sebuah laptop dan jus sawo di atas meja. Kebetulan sore ini jendela kedai dibuka dan-kebetulan lagi-angin sore hari ini sangat menenangkan.

Edgar memeriksa kembali tugas hukuman dari Pak Jenggot yang baru saja ia, Fandi dan Yandi kerjakan karena terlambat kemarin. Edgar meneliti setiap katanya, berusaha menemukan kesalahan agar ia tak jenuh menunggu. Ya, Edgar sengaja melakukan itu karena dia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan sambil menunggu matahari terbenam. Mengapa Edgar menunggu matahari tenggelam? Entahlah, ia sendiri pun tak tahu.

Nihil, tak ia temukan sedikit pun kesalahan dalam tugas. Edgar menutup laptopnya kesal. Matanya langsung melihat punggung seorang gadis. Punggung itu sangat familiar. Seperti punggung seseorang yang sangat ia kenali, tapi siapa?

Apa itu, A- eh gak mungkin. Gak mungkin itu dia, pasti bukan. Itu cuma kebetulan. Batin Edgar.

Edgar sangat ingin menghampiri gadis itu dan memastikan apakah dia benar Azreina atau bukan. Namun niat itu ia urungkan.

Kemudian wajah Azreina tergambar oleh imajinasinya. Bermain-main dipikirannya. Jujur, Edgar lelah dengan fikirannya yang selalu tentang Azreina. Seolah dunianya hanya tentang Azreina. Edgar seorang manusia biasa, bahkan robot pun bisa rusak sewaktu-waktu.

Edgar menghembuskan napasnya gusar. Dia menyedot jus sawo dalam gelas melalui sedotan. Dia melirik ke jam tangannya yang-baru-menunjukkan jam setengah empat. Jika saja bisa Edgar ingin pulang saat ini juga.

Edgar kembali menyapu pandangannya ke sudut kiri kedai. Dan kembali menemukan punggung gadis itu. Terlihat, rambut hitam alami gadis itu tergerai dengan indah. Rambutnya panjang menyentuh pinggangnya yang ramping. Tangannya yang sesekali mengibas rambutnya ke belakang membuat Edgar gemas ingin menguncirnya.

Andai saja Edgar bisa tahu sedikit saja kabar tentang Azreina. Jika saja Azreina masih di sini, bersama Edgar. Jika saja Azreina mau berbagi sedari dulu dengannya, mungkin keadaan tak akan serumit ini.

Tidak akan ada hati yang terluka. Tidak ada pihak yang meninggalkan dan ditinggalkan. Tidak akan ada.

Tapi sayangnya Tuhan berkehendak lain. Dengan Dia sengaja membuat Edgar buta sehingga tidak bisa melihat dan Azreina bisu seakan tidak bisa mengatakan apa-apa. Ini semua sudah dirancang dan sudah terjadi.

Nasi sudah menjadi bubur, lantas apa lagi yang bisa diubah?

Edgar mengacak rambutnya karena frustasi. Dia kembali melihat jarum jam tangan yang melingkar ditangan kirinya. Baru pukul lima sore. Setengah jam berlalu dengan sangat lambat?

Gue bisa gila lama-lama di sini. Batinnya mulai memberontak. Dia tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk membunuh waktu.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk mampir diponselnya. Edgar membukanya dengan cepat.

Bella : Hai Edgar sayaaaangggg.

Edgar mendengus sebal membacanya. Itu pesan menjijikan dari seorang cabe-cabean tidak tahu malu. Baru saja Edgar ingin mematikan ponselnya, sebuah pesan muncul lagi. Tanpa perlu dilihat Edgar pun tahu siapa yang mengiriminya pesan.

Bella : Kenapa nggak dibales? :(

Ingin rasanya Edgar mengeluarkan semua isi perutnya saat ini juga. Kenapa dia bisa bertemu dengan gadis seperti ini? Edgar segera mengetikkan sesuatu.

My Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang