e n a m

137 13 10
                                    

P.s. ini lanjutan part empat.

Setelah dirasa tenang sehabis mendengarkan lagu tadi, Azreina berniat pulang karena sudah sangat sore. Dia terlalu buru-buru hingga tidak sadar menabrak seseorang. Ketika menoleh ke arah orang yang ditabrak, Azreina terdiam tanpa kata. Seolah dunianya berhenti pada detik itu juga. Mata itu...

Mata elang yang sarat akan ketajaman itu. Mata yang selalu terdapat keteduhan setiap kali Azreina pandangi dulu. Kini mata itu menatapnya dengan seribu pandangan. Pandangan yang tak Azreina pahami.

Tak lama, mata itu mulai meneduh. Dunia yang tadinya berhenti seolah berjalan lagi. Menggulirkan waktu lagi. Pemilik mata elang itu lalu mengamati Azreina dengan betul-betul. Melihat setiap inchi kulit Azreina.

Azreina sendiri menangis. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Awalnya hanya beberapa tetes, lalu berubah menjadi deras. Azreina bisa merasakan ada jari-jari besar yang menyentuh wajahnya. Jari-jari itu menghapus air matanya.

Azreina mendongak. Ia mendapati wajah Edgar-nya. Mata itu juga berkaca-kaca namun buliran itu tidak menetes.

Susah payah Azreina menahan diri agar tidak berhambur ke pelukan Edgar. Azreina ingin Edgar yang membawanya dalam pelukan itu. Kepalanya ia tundukkan ke bawah. Menatap lantai-lantai di bawah hampa.

Dalam hati, Azreina terus bertanya-tanya. Apakah Edgar masih mengenalinya? Apakah Edgar marah kepadanya? Apakah Edgar merindukannya? Terlalu banyak pertanyaan yang menghantui sehingga Azreina tidak sadar kalau kini dia sudah berada dalam dekapan Edgar. Edgar sendiri yang membawanya. Ini sudah-lebih dari-cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Azreina.

Tangis Azreina semakin menjadi. Tangis itu bukan sembarang tangis. Itu adalah tangisan kerinduan yang telah lama terpendam. Hasratnya ada dalam setiap buliran air mata.

Mereka terlalu sibuk menyampaikan jutaan rasa rindu hingga tidak sadar bahwa sedari tadi mereka menjadi objek tontonan gratis. Bahkan beberapa pengunjung juga ikut terharu sampai menitikkan air mata.

Edgar melepaskan pelukan mereka lalu menghapus sisa air mata di wajah Azreina. Sungguh perasaan Azreina saat itu sangat tenang. Rasa rindu yang menghantuinya selama enam tahun kini telah pergi. Beban yang dipikulnya sejak lama seakan lenyap begitu saja. Hanya dengan hal kecil-yang biasa menurut pasangan lain-menurut Azreina itu sangat luar biasa. Sungguh ini hari terbaik sepanjang hidupnya. Tiada hari paling istimewa dari ini sekali pun hari lahirnya.

Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di wajah Azreina. Baik Edgar, Azreina maupun pengunjung dan karyawan kedai yang sedari tadi menyaksikan kejadian, tersentak kaget. Serentak, mereka melihat ke arah seorang perempuan di depan Azreina dengan napas memburu dan pandangan yang tajam.

"Jadi elo alasan dibalik kenapa Edgar nggak pernah mau deket sama cewek manapun? Jadi elo, si Azreina yang katanya cantik luar biasa padahal masih gak ada apa-apanya dibanding gue? JADI ELO YANG NAMANYA AZREINA?!" kata si perempuan itu dengan penekanan di setiap katanya sambil menunjuk kepada Azreina.

Perlu kalian ketahui, perempuan itu adalah cabe-cabean tidak tahu diri bernama Bella.

Tidak terima, Edgar menurunkan tangan Bella secara kasar lalu berkata, "kalo emang dia Azreina lo mau apa? Dan apa kata lo tadi? Lo lebih cantik dibanding Azreina? Ngaca, Bel lo gak ada apa-apanya dibanding dia. Cantik bukan hanya dari fisik tapi juga dari hati."

Setelah itu Edgar menarik Azreina keluar dari kedai dan masuk ke dalam mobilnya. Edgar menyingkirkan tangan Azreina yang ada di pipi kirinya dan melihat bekas tamparan itu.

"Kita pulang ya, Na," ajak Edgar.

Azreina tak menjawab. Dirinya membisu. Pandangannya lurus ke depan namun kosong.

"Omongannya si Bella tadi jangan dipikirin. Dia bukan siapa-siapa, Na. Kita pulang ya?" Lagi, Edgar mengajaknya namun Azreina tetap saja diam.

Kata-kata Bella tadi menggema di telinga Azreina sehingga tidak mendengarkan apa yang Edgar katakan.

"Kita pulang, Gar," ucap Azreina dengan nada datar. Pandangannya juga masih kosong.

Edgar melajukan mobilnya menuju rumah Azreina. Dia sendiri tidak fokus menyetir karena terlalu mengkhawatirkan Azreina. Azreina terus saja diam bahkan sampai di depan rumahnya. Ia keluar dari mobil Edgar tanpa mengucapkan apa-apa.

Azreina berlari masuk ke dalam kamarnya. Menguncinya dari dalam lalu menjatuhkan dirinya ke kasur. Menangis sejadi-jadinya tanpa menghiraukan apa pun. Meluapkan segala persaannya tanpa memperdulikan apa pun.

Pertemuan yang tadinya ia kira akan diawali dengan canda tawa ternyata diawali dengan tangisan dan kekesalan. Pertemuan yang tadinya ia kira akan menjadi awal yang baik agar bisa memperbaiki yang salah dulunya mungkin sekarang hanya akan menjadi mimpi belaka. Usaha dan kerja kerasnya selama enam tahun di negara orang mungkin hanya akan sia-sia. Mungkin memang Azreina tidak ditakdirkan untuk bahagia.

Azreina marah kepada dirinya yang bodoh. Bagaimana bisa dia tidak berpikir jika mungkin saja Edgar mempunyai wantia lain? Mungkinkah seorang laki-laki yang ditinggal selama enam tahun tanpa salam perpisahan akan terus setia menunggu? Mungkinkah rasa itu masih tetap ada walaupun telah disakiti? Mungkinkah hati selamanya akan melunak?

Jawabannya adalah tidak.

Di sini Azreina yang terlalu bodoh. Tidak memikirkannya dulu sedari awal. Di sini hanya dia yang terlalu berjuang dan berharap. Sedangkan yang diperjuangkan dan yang diharapkan sudah pergi entah kemana. Lantas apakah kepulangannya masih berarti? Apakah rasa ini harus tetap bertumbuh bersama duri ataukah dikubur secara paksa bersama bangkai?




A.N :

maunya My Love happy ending atau sad ending ? jawab yaa







Writed : Friday, 29th July 2016
Published : Saturday, 30th July 2016
SilviaAngela~






My Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang