12 tahun yang lalu ...
"Ngeeeng ngeeeng" bocah lelaki itu bermain dengan mobil-mobilannya di teras rumah.
"Tiin tiin" dengan senangnya dia bermain, menirukan suara-suara mobil, terlihat dia ditemani oleh pengasuhnya.
Pranggg!!!
Terkejut, bocah itu terlihat syok mendengar suara sesuatu pecah dari dalam rumahnya.
"Margareta! Kau sadar apa yang telah kau lakukan ini? dan kau masih menyalahkanku! Aku ini suamimu!" teriak Aji sambil terengah-engah menahan emosi.
"Tidak! Kau selalu pergi, kau tak pernah ada di rumah, kau tak pernah ada waktu untukku dan anakmu!" teriak wanita itu sambil menunjuk lelaki di hadapannya.
"Aku kerja! aku mencari nafkah untuk kalian!"
"Tapi aku tak merasa bahagia dengan semua uang ini! Aku mencari kebahagiaanku di luar. Aku muak bertahun-tahun hanya terkurung di dalam rumah ini! Selama ini aku bersabar, namun aku tak bisa lagi meneruskannya!" Margareta berhenti sejenak.
"Aku mau cerai." Dia memperlihatkan cincin yang terpasang di jari manisnya. Bukan, itu bukan cincin pernikahannya dengan Aji.
Setelah Aji menyadari kebenarannya.
Plaaak!
Satu tamparan dari Aji melayang di pipi Margaret.
Aku takuut.
Althan, bocah kecil yang sedari tadi menyaksikan perdebatan kedua orangtuanya itu berdiri di di dekat pintu.
"Sayang ayo kita ke kamar" ajak pengasuhnya yang menyadari Althan meneteskan air mata.
"Tidak mau, aku mau sama mama papa" Althan kecil langsung berlari menuju papanya. Dia memeluk papanya dengan erat.
"Pa, apa maksudnya cerai pa? Kenapa keramik itu pecah? Kenapa papa menampar mama pa?" Althan tampak mengusap air matanya.
"Pa, jawab pertanyaan aku pa"
Aji langsung mensejajarkan tingginya dengan anak semata wayangnya itu.
"Althan, dengarkan papa baik-baik nak. Kamu lelaki, kamu adalah lelaki perkasa sayang. Kamu harus kuat menghadapi semua yang akan terjadi, janji dengan papa nak."
Margareta turun dari tangga dengan membawa kopernya
"Tapi pa" Althan beralih ke arah mamanya. Dia menahan tangan Margaret sebisanya, agar mamanya itu tidak pergi. Namun nihil, sia-sia, Margareta hanya diam. Dia tetap meninggalkan rumah dengan senyum yang ditujukannya pada Althan.
"Sampai jumpa nak." Hanya itu, hanya senyum dan kata-kata itulah yang terakhir dilihat dan didengar Althan dari sosok wanita yang melahirkannya tersebut.
Bocah kecil yang baru berusia 5 tahun itu langsung berlari ke kamarnya. Dia menangis sejadi-jadinya, meringkuk di sudut kamar yang gelap, kamarnya terasa mencekam, dia bingung, dia belum mengerti dengan semuanya.
Seiiring berjalannya waktu, Althan telah mengetahui kebenarannya. Dia pun tumbuh menjadi sosok yang dingin, cuek. Tidak ada lagi Althan yang periang dan penurut.
Di usia remajanya, Althan tak tertarik memililiki orang-orang yang disebut sahabat, pacar, atau apalah itu. Ia hanya berpikir untuk apa jika pada akhirnya mereka akan meninggalkannya seperti mamanya.
Banyak gadis yang mendekatinya sejak dulu, tak ada satupun yang ia hiraukan. Gadis yang menembaknya? Jangan ditanya lagi, lebih banyak. No! Althan bukan gay, dia hanya belum menemukan sosok yang bisa meyakinkannya bahwa dia tak akan meninggalkan Althan, Apapun yang terjadi.
*****
Althan's POV
Ini hari pertamaku masuk ke sekolah baru. Sekolah? Haha, paling tidak aku bisa meninggalkan rumah itu pada akhirnya.
Papa memutuskan untuk pindah ke Jakarta setelah sebelumnya menetap di Bandung. Aku tak begitu dekat dengan lelaki itu, dia jarang pulang ke rumah. Aku hanya tinggal dengan asisten-asisten rumah tangga yang mengurusi seluruh kebutuhanku disana.
Apakah disini juga begitu? Tentu saja, kurasa dia semakin jarang menemuiku, makin sibuk dengan pekerjaan dan, keluarga barunya.
6 tahun setelah perceraiannya dengan mama, dia menikah lagi dan memiliki seorang anak perempuan. Bahkan secara tak langsung pun dia juga meninggalkanku secara perlahan bukan?
Sungguh miris hidupku.
Disini pun aku memutuskan untuk tinggal sendiri. Setelah pertengkaran yang panjang, akhirnya dia menyetujui hal itu, dengan syarat aku akan merubah sikapku dan lulus dengan nilai yang baik. Haha alasan klasik, mungkin lebih tepatnya agar dia bisa lebih leluasa tinggal bersama keluarganya itu.
"Ayo nak masuk"
Karena memikirkan hal itu, tak tersadar aku sudah berada di depan kelas baruku.
"Iya pak"
Setelah memperkenalkan diri, aku dipersilahkan duduk di..... bangku nomor 2 dari belakang. Ketika aku berjalan ke bangkuku, aku menyadari sesuatu, gadis itu. Dia, untuk ketiga kalinya aku bertemu lagi dengan gadis itu.
Pertama, di toko buku, saat aku terpaksa membeli buku-buku persiapan UN. Papa mengancam akan menarik fasilitasku jika tidak memenuhi keinginan-keinginannya.
Kedua, saat di studio musik. Studio itu dikelolah oleh ibu tiriku. Tentu saja, itu juga keinginan papa, les musik. Kalian pikir aku mengikutinya? tidak, aku hanya duduk manis, mendengarkan lagu dengan earphoneku, dan bermain game di hp.
Di pertemuan kedua itu, dia terlihat lucu. Ah tidak, apa yang baru saja kupikirkan. TIDAK MUNGKIN.
Ketiga, di sekolah ini, kelas ini, tak kuduga dia sekelas denganku.
Dia terlihat manis kali ini. Hei Althan! Wake up man, what are you thinking?!
Setelah pelajaran selesai, dan jam istirahat tiba, aku memutuskan untuk tetap di kelas. Mendengarkan musik.
"Na udah na dicatat?" Kevin, teman sebangkuku bertanya pada gadis itu. Na? Mungkin namanya mengandung unsur itu. Oh ya, Reyna, tadi pak Santoso menyebutkan nama itu saat menyuruhku duduk.
Gadis itu malah bercanda dengan teman di sebelahnya, diam-diam kuperhatikan tingkahnya. Mataku melakukan itu tanpa kusadari.
Tiba-tiba. "Duh" ujung sampulnya mengenai pipiku saat dia bercanda dengan Kevin. Saat kupegang, berdarah, hanya sedikit. Dia langsung memegang pipiku, langsung kutepis.
Aku tak ingin hal yang kupikirkan ini berlanjut.
Jadi, aku merubah rencanaku dengan mengajak Kevin ke kantin. Kevin menyetujuinya dan kami langsung pergi meninggalkan kelas.
Baiklah, akan kujelaskan. Tak bisa kupungkiri, sesungguhnya sejak pertama kali bertemu dengannya,
Mata hitamnya itu, terus terlintas di pikiranku.
*****
Ternyata buat dari sudut pandang cowok lumayan susah brader, tapi bakal belajar terus yaap.
Next, next ...
Vote and comment jangan lupa ya, thank you for reading :) :*
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbelieve
Teen FictionAwalnya, semua terasa menyenangkan. Hanya dia yang mampu membuat hari-hariku berwarna, berlukiskan warna-warni indah cerita yang telah kulalui dengannya selama ini. Namun posisinya di hatiku tergeser seiring dengan hadirnya sosok itu. Semua tak pern...