P R O L O G U E

465 12 5
                                    

---Caroline---

Hanya denging.

Hanya denging yang dapat ku dengar saat sebuah tamparan telak menghantam. Aku memegangi pipi kananku yang berdenyut menyakitkan. Memandang nanar seseorang di hadapanku.

Dia bahkan tak memberiku kesempatan untuk mengatakan sesuatu. Kuat - kuat dia menjambak rambutku. Menariknya hingga telingaku berada tepat di depan bibirnya. Bisa kurasakan kebencian dalam nada suaranya saat dia berbisik.

"Bukankah sudah ku bilang untuk tidak mendekati suamiku, Bitch!"

"Rhea... I-ini tidak se-seperti yang kau kira. Ka-kami ti-tidak—Arrghh!"

Jambakan tersebut semakin menguat. Aku rasa sebentar lagi rambutku akan tercabut dari kepala.

"Tidak seperti yang ku kira apa, hm? Lalu apa arti liontin ini?! Evan kan yang memberikannya padamu! Jawab! Jelas – jelas kau merayu suamiku, bitch!"

Tanpa ampun dia menyentak keras cengkeramannya pada rambutku. Membuatku tersungkur jatuh lalu menabrak meja di belakangku.

Sakit. Bukan sakit memar pada punggungku akibat tabrakan tadi yang aku khawatirkan. Sesuatu yang lebih darurat terjadi. Oh tidak! Hatiku mencelos.

Perutku sakit. Teramat sakit.

Ku mohon tolong aku, Rhea....

Aku mengiba. Memegang erat perutku yang kesakitan. Aku mendongak mencoba meraih simpati dari orang yang menjulang di depanku ini. Nihil. Hanya tatapan dingin yang aku dapatkan darinya.

Tuhan, kumohon.... Apapun selain perutku, kumohon....

Nyaris bagai doa yang terkabul, seseorang menjeblak pintu dengan keras. Mata orang itu membola melihat.pemandangan di depannya.

"Ev-van," gagap dia. Sepertinya dia tidak mengira orang itu akan datang kesini.

Orang itu tidak menghiraukan panggilan terbata dari dia. Alih alih memilih bergegas menghampiriku.

"Carry, ka-kau baik – baik saja?" Tanya orang itu. Bisa kulihat tangannya sedikit bergetar saat menyentuh pundakku.

"Sa-sakit.... Pe-perutku sakit, Evan. To-tolong—"

Tanpa perlu menunggu kelanjutan kalimatku, orang itu segera mengangkat dan menggendongku.

Namun sebelum kami berjalan lebih jauh keluar ruangan sebuah tangan menahannya.

"Lepas, Rhea," desis orang itu tanpa menoleh ke arah dia yang mencengkeram lengannya.

Dia tak menyerah. Matanya terus mengejar mataoran itu hingga akhirnya orang itu mengalah. Sudut mata orang itu menatap tajam iris kelabu dia.

"Aku harus segera membawa Caroline ke Rumah Sakit, Rhea."

Dan dengan kalimat dingin itu, dia merenggangkan genggamannya. Membiarkan orang itu menyentak tangannya dan berlalu pergi.

Bisa kulihat dari balik bahu orang yang membopongku. Dia terpaku di belakang kami. Matanya sedang memandang kami dengan kesenduan yang nyata. Terlalu nyata hingga aku pun serasa bisa ikut merasakan rasa sakit itu.

Maafkan aku Rhea....

Namun aku juga tidak berdaya.

Ini semua demi sesuatu yang berdetak berjuang untuk hidup di dalam rahimku.

Sang pewaris keluarga Black....

Aku akan kuat. Aku harus kuat. Terus melangkah ke depan meski satu - satunya yang ku dengar hanya denging.

Hanya denging.

.

.

.

Illogically Loving

"...cause I love you illogically...."

Illogically LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang