Logica 14

91 7 0
                                    

Author Playlist as backsong: Taking over Me by Evanescence

Source pictures : pinterest

💞💞💞💞💞💞

"...I believe in you
I'll give up everything just to find you
I have to be with you to live, to breath
you taking over me...."

💞💞💞💞💞💞💞💞

"Kapan ibuku akan sadar, Dokter?"

Dr Elliot tersenyum teduh seperti biasanya sebelum menjawab pertanyaan Rhea.

"Operasinya berjalan lancar, Rhea. Kita hanya perlu menunggu sampai ibumu sadar. Jadi, jangan terlalu khawatir, okay?" ujar dr Elliot, tersenyum menenangkan.

"Aku—" ujar Rhea dengan suara tercekat. "—aku tak bisa membayangkan jika—jika ginjalku tak cocok dengan milik Mom. Aku—"

"Kau sudah melakukan yang terbaik, Sugar. Semua akan baik – baik saja. Ibumu akan baik – baik saja." Dr Elliot meremas pelan bahu Rhea. Menguatkan.

Rhea hanya tersenyum lemah sebagai tanggapan. Tangannya tak pernah lepas menggenggam telapak tangan sang ibu. Sesekali menciuminya takzim laksana doa agar sang ibu segera membuka mata.

Dr Elliot mengerti bahwa sepertinya Rhea membutuhkan waktu sendiri. Dia pamit setelah memberi tepukan pelan di bahu Rhea.

"Aku telah melangar janji yang telah ku buat, Mom. Orang itu—aku terpaksa menerimanya. Padahal aku telah bertekad. Kau tau aku telah bertekad untuk tidak membiarkan orang itu masuk ke dalam hidup kita lagi. Seenaknya saja setelah dia membuang kita, dia—" Rhea menangis tergugu sampai membasahi tangan kanan sang ibu yang digenggamnya begitu erat.

"Aku lemah, Mom. Aku masih saja lemah. Aku masih sama seperti gadis 15 tahun yang lalu, yang merengek memohon belas kasihan kepada orang itu. Setelah semua ini, ternyata tidak ada yang berubah. Tidak ada!"

Rhea terus saja menangis. Tangisan yang bergema menyayat hati. Rhea terus menangis tanpa tahu di balik pintu, dr. Elliot dalam diam mendengarkan tangisannya dengan ekspresi sendu.

"Aku harap kemunculan kalian tidak membuat hidup Rhea semakin sulit." Elliot melirik sekilas seseorang yang ternyata juga berdiri tak jauh dari pintu ruang rawat inap VVIP tempat ibu Rhea berada.

"Ah, You hurt my heart, Doc. Kami tidak seburuk yang kau pikirkan, Doctor Elliot."

"Bisakah Anda mengapus senyum palsu Anda itu saat berbicara denganku? It does'nt work on me."

"Kalau begitu Anda bisa terlebih dahulu mencopot topeng ramah Anda itu. Saya juga tahu Anda tidak benar – benar menunjukkan wajah seramah itu kepadaku," jawab Adler masih dengan mata tersenyum.

Jeda. Kedua orang itu masih melempar senyum palsu mereka masing – masing.

"Jika sedikit saja aku melihat Rhea menderita karena perbuatan kalian lagi, sungguh, bahkan aku juga tidak tahu apa yang bisa aku perbuat kepada kalian. Meski kalian adalah Russell, Sang Penguasa sekalipun," ujar Elliot penuh penekanan.

Akhirnya dia menanggalkan wajah ramahnya dan menyeringai kejam sebagai gantinya.

💦💦💦

Rhea mengecek sekali lagi isi pesan di smartphone miliknya. Sekedar memastikan dia tidak salah tempat. Tidak salah lagi. Paradise Club. Salah satu private nightclub yang hanya bisa dimasuki oleh orang – orang yang memiliki kartu pass. Dan jangan tanya siapa saja yang bisa mendapatkan kartu pass untuk masuk ke dalam Paradise Club. Satu yang pasti, kau harus mengocek kantong cukup dalam untuk memiliki kartu itu. Selain itu, kau juga harus mendapatkan rekomendasi dari orang dalam untuk bisa mendapatkannya. Jadi, bisa dipastikan bukan orang sembarangan yang bisa memasuki club ini.

Namun club tetaplah club. Seeksklusif apapun levelnya, hingar bingar club tidak pernah membuat Rhea nyaman. Fakta bahwa dia pernah bekerja part time sebagai pelayan di club—dengan menyamarkan umurnya—tidak lantas membuatnya terbiasa dengan suasananya. Walaupun Rhea juga tidak membenci atau alergi juga.

Sungguh, jika bukan karena Mrs. Black langsung yang mengundangnya, dia tidak akan datang ke pesta–bodoh-Evan and the gang. Pesta bodoh yang bahkan dia tidak tahu diadakan karena dan untuk apa. Kemungkinan, salah satu pesta ajang kumpul rutin para putra – putri konglomerat yang hanya tahu menghabiskan uang orang tua mereka.

Ah, Rhea lupa. Kini dia salah satu dari putra – putri manja itu sekarang. Karena kini dia adalah Russell yang terhormat. Ironi yang membuatnya meringis dalam hati.

Seorang pelayan menghampiri Rhea yang berdiri gamang di antara gemerlap lampu warna – warni. Kontras dengan suasana dance floor yang bising karena musiknya yang menghentak.

"Ada yang bisa saya bantu, Miss?"

"Ah, ya. Saya tamu dari Evan Black. Bisakah kau tunjukan dimana ruangan yang dia pesan?"

"Ah, Miss Russell? Mari saya tunjukkan tempatnya. Anda sudah ditunggu oleh Mr Black dan teman – temannya."

Rhea mengangkat kedua alis sangsi. Ditunggu? Apakah tadi pagi matahari terbit dari barat? Ia pikir undangan yang diterimanya ini hanya keinginan sepihak dari Mrs Black agar ia dan Evan menjadi lebih dekat. Apakah akhirnya Evan menyerah dan menerima pertunangan mereka dengan lapang dada?

Rhea tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum memikirkan kemungkinan ini. Bahwa Evan pada akhirnya bersedia bertunangan dengan dirinya. Evan akan resmi menjadi miliknya. Mimpinya kini akan benar – benar terwujud.

"Silahkan, Miss." Perkataan sang pelayan menyeretnya kembali dari lamunan jauh. Rhea merutuk pelan. Bisa – bisanya dia melamun sampai tidak sadar bahwa mereka telah sampai di depan sebuah ruangan VIP. Sayup bisa Rhea dengar hentakan musik dan gelak tawa dari dalam sana. Sang pelayan tersenyum dan mempersilahkan Rhea membuka pintu di depan mereka.

Rhea mengatur kembali ekspresinya sehingga binar bahagia itu tidak akan terlalu kentara. Keputusan yang detik berikutnya dia sesali. Usaha susah payah itu tidak diperlukan. Pemandangan di depannya sudah cukup untuk menghempas jauh harapan kecilnya.

Hatinya mencelos. Mata Karin seketika kosong. Namun amarah itu menggelegak lewat tangannya yang terkepal erat.

Tepat di depannya, Evan Black sedang bercumbu panas dengan seorang wanita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepat di depannya, Evan Black sedang bercumbu panas dengan seorang wanita. Mereka berpelukan sangat erat. Hampir terlihat seperti akan saling memakan. Tangan mereka saling membelit hingga hampir tidak bisa dibedakan tangan siapa membelit kemana.

Ah, dirinya memang bodoh. Harusnya dia tahu Evan tidak akan begitu saja menerimanya. Evan membencinya. Dia sudah tahu kenyataan itu dari dulu. Namun tetap saja. Cinta membuat logikanya tidak bisa berjalan dengan baik. Bisa - bisa dia lagi - lagi membiarkan angan semu mengelabuhinya.

Dan lihatlah kini akibatnya. Dia bisa mendengar suara retakan itu lagi dari dalam sana.

Hatinya patah kembali.

Karena Evan.
 

💔💔💔💔💔

A/N:
Hai, hai, bagaimana menurut kalian chap kali ini. Membosankan? kurang greget? terlalu brtele -tele? plis. biarkan aku mendengar apa yg kalian pikirkan saat membaca ini.

daaann. . .
pencet tombol bintang nya sih. hehe, biar saya makin semangat! 😁😁😁😁😁

hikarishifaa 🍀

Illogically LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang