Direkomendasikan untuk yang suka gaya bahasa nyastra atau puitis. Yang betah baca lama-lama, dan konsentrasi tinggi. Naskah ini jauh dari kata "gaul" dan EYD masih berantakan. Butuh Vomment buat cetak ulang. Jadi, malas edit EYD untuk saat ini. Nanti diedit pas cetak kedua aja. #kalau jadi.
-----------------------------------------------------------------Sawahlunto, Sumatera Barat.
Kota Kuali nan cantik, terlihat jelas dari Puncak Cemara. Objek wisata dengan Pohon Cemara di tepi jalan. Puncak, dari sebuah tanjakan terjal. Dari ketinggian, menyuguhkan spot alam, berbaur dengan bangunan kota penuh sejarah perjuangan bangsa. Cahaya satu persatu mulai tampak di bawah sana. Gedung-gedung tua, hingga beberapa gereja, serta museum kereta. Semua terlihat merapat, bersilang seling dengan lapangan hijau. Sinar matahari padam, pusat kota seperti sebuah ruangan kelam dipenuhi nyala lilin. Memberikan ketenangan jiwa berpasang mata yang memandang.
Tidak baginya. Tidak cukup untuk menghapus luka yang terlanjur menganga. Berdarah mungkin, sampai matanya sembab. Masih dialiri butiran yang mereka sebut air mata.
Padahal hati yang teriris, lalu kenapa mata yang mengambil adegan untuk menangis? Bukankah yang demikian itu baru bisa disebut empaty nyata? Ketika Tuhan punya rahasia hebat tentang syaraf, dan keterikatannya.
Ia memilih berlari ke sana. Sudah sejak sore, ketika hari itu mungkin akan menjadi kunjungan terakhirnya. Saat sampai tiga hari yang lalu, ia mengunjungi tempat yang sama. Dua orang pemuda menemaninya, masing-masing berdiri pada dua sisi tubuhnya. Mereka tersenyum, sambil menutup mata. Sangat menikmati aroma segar dari perbauran tanaman hijau disekitarnya.
Tidak hari ini. Ia datang sendiri, tanpa senyum. Batinnya terasa perih, tak ada sandaran. Yakin, tak ada yang bisa benar-benar akan tau bagaimana ia hancur. Cukup Tuhan. Setiap tubuh sudah di cap atas nama ciptaan-Nya. Made in Allah.
Orang lain menilai sakitmu hanya sebatas bagaimana halnya mereka digigit semut merah. Lalu, kenapa masih senang mengumbar luka? Jika pada kenyataannya, tangis akhirnya hanya akan menjadi milikmu sendiri. Ketika itu sesungguhnya hanya Tuhan yang Maha Pemberi Penyelesaian...
Kendra Novde, begitu fasih merangkai kalimat itu. Menjadi salah satu part dalam naskah teater mereka. Berkali-kali mengaung di telinganya. Membekas, usai pementasan malam tadi.
Semua penonton bertepuk tangan semeriah biasa. Pementasan yang ke tiga, terhitung Event Organizer itu berdiri. Seharusnya ia senang karena telah berhasil untuk kesekian kalinya, memerankan karakter dalam sebuah naskah dengan baik. Kini, justru sebaliknya. Remuk yang tak bisa diredam.
"Kendra!" bule cantik yang belakangan ia tahu bernama Suze, memanggil kekasihnya dengan tatapan hangat. Mendekat. Lalu memeluk dengan mesra.
"Congrats beib, I'm Proud!" serunya, tanpa meninggalkan tradisi cipika-cipiki. Beberapa kota, dan kalangan di Indonesia juga sudah lama menganutnya.
Tentu, tak ada yang bisa menyalahkan atau membenarkan aturan semacam itu. Masing-masing individu punya penyerapan tersendiri terhadap kebudayaan. Banyak pengaruh-pengaruh dari luar yang kemudian dicontoh. Penguatan tentang transparansi budaya mungkin, atau sekedar ikut-ikutan. Bisa saja, cipika-cipiki termasuk salah satu budaya luar yang lolos seleksi untuk masuk daftar kebiasaan.
Entahlah, yang penting itu dianggap sudah biasa, kecuali bagi masyarakat yang tinggal di daerah. Mungkin dianggap kolot, atau memang karena rasa malu dan demi menjunjung tinggi adat istiadat. Masing-masing individu ataupun kelompok punya hak untuk berpendapat, serta mengekpresikan diri tentang apa yang mereka anggap pantas. Asalkan, tidak merugikan pihak lain tentunya.
YOU ARE READING
Cinta Tanpa Jeda - Dee M
Teen Fiction[ TELAH DITERBITKAN ] Cetakan Pertama : 1 Maret 2016 Penerbit : MNC Publishing Mohon bantu Vote, untuk cetakan ke dua biar bisa di re-cover ^^ #Romance #Sweet #Novel #KeepRomantic #Fiksi #IndonesiaMembaca