Tentang Makhluk Penerka

34 8 1
                                    

Padang, Sumatera Barat

Beberapa hari, ia lupa dengan EO. Lebih banyak meluangkan waktu di perpustakaan, mencari bahan referensi Tugas Akhir. Pilihannya tak beranjak dari pemasaran. Antara dua pembahasan yang menjadi tolak ukurnya. Bauran Pemasaran atau Bauran Promosi, dengan objek yang belum pasti. Mungkin sebuah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bisa diteliti mulai dari produk, harga, tempat pemasaran, hingga promosi yang sesuai untuk jenis produknya. Di daerah tempat tinggal Aila, ada beberapa usaha kecil yang khusus memproduksi makanan ringan khas Minangkabau. Hal itu, menjadi salah satu pilihan. Atau perusahaan yang menggunakan jasa tenaga penjual juga bisa dijadikan objek. Banyak sekali perusahaan terutama di bidang furniture yang sedang marak-maraknya menggunakan tenaga penjual. Bukankah biaya yang dikeluarkan perusahaan menjadi semakin besar? Ya, spekulasi seperti itu juga bisa dijadikan sebagai salah satu latar belakang masalah untuk diteliti.

Paling penting dari semua itu setidaknya, Aila memiliki satu mata kuliah yang bisa mengalihkan fikirannya tentang teater. Sementara waktu.

La, bisa ke sekolah? Tapi, bisa atau tidakpun- tetap ditunggu jam tiga sore ini. Irvan-

Aila tersenyum tipis membaca pesan singkat itu. Tiga hari yang lalu mereka sempat bertukaran nomor handphone. Pertama kali Irvan mengiriminya SMS. Mereka sudah berteman di Facebook selama lima tahun, dengan intensitas chatting sekali sebulan paling banyak. Hanya sekedar "Hai" atau "Apa kabar?". Belakangan malah hampir setiap malam. Dan hari ini SMS itu datang.

Aila sudah tak sabar ingin melihat seseorang yang telah lama lenyap dari kehidupannya. Pergi, tanpa pesan apapun. Seseorang yang memiliki arti tersendiri baginya. Kepribadian yang unik, membuatnya sulit dilupakan begitu saja. Sepuluh menit sudah Aila berdiri di depan parkiran itu. Ia sedikit gugup, dan beberapa kali memperhatikan penampilan. Sebelum akhirnya, penantiannya diakhiri oleh kedatangan suara gaduh sebuah vespa. Warnanya ngejreng, Irvan memarkir vespa itu. Kemudian membuka helm.

Tingginya sekitar 170 Cm. Menggunakan kemeja dongker, dan kancingnya dibiarkan terbuka. Membuat tulisan kaos berwarna merah itu bisa dibaca secara lengkap "Urang Minang Asli". Rambutnya masih lebat, dibiarkan acak-acakan. Lebih cocok, dibanding dulu yang selalu diseka ke samping dengan minyak rambut. Terlihat klimis. Garis wajahnya semakin tegas. Tubuhnya lebih berisi. Dan mata sayu yang tak pernah berubah. Selalu misterius.

"Hai, apa kabar?"

Kalimat itu lagi.

"Kapan balik dari Yogya?" Aila menimpali pertanyaan Irvan dengan balik bertanya. Bukankah ia terlihat sehat? Jadi buat apa bertanya tentang kabar? Itu terlalu dingin untuk ukuran hubungan mereka yang dulu sangat dekat.

"Seminggu yang lalu"

Senyumnya masih terasa hangat. Tanpa dendam. Tentunya, kejadian masa lalu paling tidak akan menyisakan luka dan membekas di hati Irvan.

Mereka mulai melangkah, memasuki gerbang.

"Lalu, kenapa baru hari ini?"

"Butuh persiapan khusus, untuk menemui seorang Aila. Setelah bertahun-tahun tanpa pertemuan..."

Irvan melontarkan kalimat itu dengan nada pelan. Seolah menyimpan isyarat lain, yang tak mampu ia lisankan. Aila terhenti, memperhatikan wajah pemuda yang terus berjalan lambat di depannya.

"Maksudnya?"

Ia menoleh ke belakang, tersenyum. Lagi-lagi senyum yang penuh tanya. Aila menerka, telah terjadi sesuatu dengan Irvan. Entah apa.

"Becanda La. Ada hal yang mesti diurus dulu pertama kali datang. Jadi, baru punya waktu hari ini untuk bertemu"

Baiklah. Aila tak yakin, alis matanya sengaja naik.

Cinta Tanpa Jeda - Dee MDonde viven las historias. Descúbrelo ahora