26 Nafas dalam Balon

38 8 0
                                    

Padang, Sumatera Barat

"Capt, kapan dia pulang?"

"Entahlah" menaikkan bahu. Kendra tersenyum tipis. Memperhatikan Suze, berlarian mengejar ombak. Lalu kembali ke tepian saat ombak mendekat.

Genta beranjak, sedikit menjauh. Menuju bebatuan yang menjorok ke laut. Tertegun di sana. Menatap ombak yang menggulung, ketika terik mulai surut. Sebentar lagi fenomena pergantian itu akan terjadi kembali. Ketika the sea breeze atau angin laut, berubah menjadi the land breeze atau angin darat. Setiap hari hal ini selalu menolong kapal nelayan untuk pergi dan pulang melaut. Semua sudah diatur.

Entah kenapa, gerakan fajar tenggelam ke singgahsana samudera selalu menjadi titik haru baginya. Terasa seperti ucapan selamat tinggal, yang harus diabadikan. Tentang hari ini yang berakhir, dan tentang esok yang penuh harapan. Hampir setiap moment ketika sepotong cahaya tersisa menjelang senja selalu ia bidik dengan kamera. Potret yang ia koleksi, dan punya file khusus dalam laptopnya.

Satu lagi yang ia tau, melihat fenomena itu selalu menyuburkan ingatannya tentang diri sendiri.

Seperti biasa, matanya selalu berkaca-kaca melihat lensa kamera yang menampilkan hasil bidikannya. Melumat bagian-bagian hidup yang telah lalu dalam ingatan.

Ia dulu pengamen. Tak ada yang tau sejak kapan ia mulai mengamen. Tak ada yang tau, siapa orang tuanya. Besar diantara kapal-kapal nelayan, lalu bertahan hidup dari sebuah kolele. Setahun yang lalu, bertemu sepasang kekasih di pantai itu. Laki-lakinya sedang memotret ke arah laut. Dan wanitanya sibuk berlarian seperti yang dilakukan Suze sekarang.

Dan, tak ada yang tau sejak itu harapannya tentang hidup dimulai.

Dia memberi selembar uang lima puluh ribu. Setelah seharian, tubuhnya terbakar sengat matahari tanpa ada belas kasihan siapapun.

"Sejak kapan ngamen?"

Jawabannya "Entahlah" menaikkan bahu. Persis yang Kendra barusan lakukan padanya. Tersenyum tipis, tak berani menatap. Terlalu getir.

Pernah melihat kejernihan mata air di tengah hutan? Mata Kendra mungkin ibaratkan itu. Genta baru sadar, ketika pemuda yang ketika itu masih asing baginya tiba-tiba menoleh. Mencoba menemukan sepasang matanya yang tertunduk.

Kendra hendak bertanya lebih jauh. Mulutnya baru akan melontarkan pertanyaan.

"Jangan tanya soal keluarga! Mereka bisa bilang, dengan nada memelas berasal dari keluarga sederhana. Dan tak punya apa-apa. Padahal mereka punya keluarga, itu bukannya lebih dari cukup? Ketika ada banyak orang di luar sana yang tak punya keluarga. Bahkan tak tau dirinya siapa"

Tumpah sudah, kepada orang yang tak ia kenal.

"Hei, tau balon?"

Genta hanya mengangguk.

"Duduklah dulu"

Genta hanya menurut. Mereka duduk bersebelahan.

"Hidup itu, seperti sebuah balon. Harus ditiup dulu baru bernyawa. Setelahnya, adalah pilihan. Saya punya saran. Jangan pernah memberinya tali- agar ia bisa terbang- kemanapun angin membawanya. Be-bas! Urusan kapanpun ia meledak, itu perkara nanti. Yang jelas, sebelum berbaur dengan udara di alam lepas, ia pernah tau apa itu bebas"

"Itu nggak nyambung!"

Kendra tersenyum, membalas tanggapan Genta yang ketus.

"Jangan dipersulit, tidak harus besar di tengah-tengah mereka dulu- baru lantas disebut keluarga. Kamu yang mengikat dirimu sendiri dalam prinsip konyol itu. Tak usah memaki aturan Tuhan"

Genta tertegun.

"Pernah dengar orang-orang berkata kalau lebih baik minta tolong dengan orang lain daripada keluarga sendiri?"

Genta mengangguk.

"Nah, itu dia. Sekarang posisi mana sebenarnya yang lebih enak? Punya keluarga ataupun tidak- bukan itu perkara hidup. Semua hal bisa dicari, asal kita mau. Hidup bukan hanya sekedar mencari uang, makan cukup, dan mewah. Orang yang mengejar itu semua dalam hidup- matinya konyol. Cobalah membuka diri, menerima. Bebaskan! Lepaskan dendam tentang ketidakadilan. Temukan apa yang kamu cari, yang kamu butuh"

"Ngomong sih gampang" Genta tercekat.

"Tuh kan, emang dasarnya nggak mau menerima. Masalahnya disitu"

"Sekarang gue tanya, emang ada yang mau terima gue sebagai keluarga? Bagi orang kaya seperti lu itu gampang!" ia berdiri, emosinya tak tertahan.

"Saya mau"

Secepat itu. Malamnya Genta sudah tidur di kamar berfasilitas lengkap. Kurang dari sebulan, rumah itu disulap jadi tempat perkumpulan remaja seusianya. Mereka belajar, membuat berbagai kerajinan kesenian, dan menjadikannya bisnis.

Sejak itu sebutan Captain melekat pada diri Kendra.

Aila membuka kelas teater, dan Kendra mengajari mereka bermain alat musik. Tawaran demi tawaran mulai datang, untuk mengisi berbagai acara. Akhirnya mereka membentuk kepengurusan tetap, dalam naungan Neutral Management Event Organizer. Genta menemukan keluarganya. Bukan hanya Genta, tapi dua puluh enam orang itu kini menyatu.

Genta punya masalah baru, dengan janjinya pada Aila.

"Jaga mereka semua, terutama Kendra"

Begitu pesan Aila. Mungkinkah ia tau, dua puluh enam balon yang terbang bersama itu, tidak semuanya sepakat tentang arah? Dan, bukan tidak mungkin ada beberapa- atau paling tidak satu saja yang berisi nafas berbau busuk.

Tentang Hanim. Harus cerita pada siapa? Genta membatin.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 14, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cinta Tanpa Jeda - Dee MWhere stories live. Discover now