IV.

78 12 1
                                    

======

"Kok lo ngikut – ngikut kelompok ini? Kan lo udah punya kelompok sendiri,"

"Please, Lev. Gue dikeluarin dari kelompok gue sendiri." pinta Baron.

"Ha! Sukurin! Udah lo gak usah masuh ke kelompok gue. Kelompok gue udah penuh." ucap Leva sambil mengibaskan tangannya dan berlalu. Tangan Baron sigap menangkap pergelangan tangan perempuan berdarah campuran yang diwariskan oleh ibunya.

"Ih, apasih, lepasin! Alergi gue dipegang – pegang sama lo!"

"Oh jadi gue 'pegang – pegang' gapapa, ya?" ucap Baron sambil memberikan tanda kutip dengan tangan kirinya.

"Lah, ini anak pake mikir aneh –aneh lagi. Sono pegang – pegang kambing aja, coy!"

"Udah, ya. Please, gue gatau harus sekelompok sama siapa lagi." pinta Baron sambil menangkupkan kedua tangannya di depan muka sambil bertekuk lutut.

"Iye! Udah sono pergi!"

"Makasih, Nyonya." Baron menundukkan punggungnya seraya berterima kasih.

Hari ini Leva mendapatkan tugas drama dari gurunya. Masing – masing anggota kelompok telah ditentukan oleh guru mereka. Sebenarnya kelompok tersebut tidak bisa diubah anggotanya. Namun tampaknya Baron mengabaikan hal itu karena ia sendiri dikeluarkan dari kelompoknya. Mereka mengeluarkannya karena sebuah alasan, dan Leva tidak ingin tahu menahu alasan itu. Semua murid diberikan waktu selama satu minggu untuk bisa membawakan drama dengan baik.

Hancur sudah kepala Leva. Ia dipusingkan dengan urusan OSIS. Kemudian ditambah kembali dengan tugasnya-- lebih tepatnya dengan Baron. Ia tidak habis pikir dengan Baron. Pada awalnya ia memang sudah mendengar kalau Baron dikeluarkan dari kelompoknya dan Leva merasa senang melihat ia dikeluarkan. Namun rasa senangnya berubah ketika Baron memohon untuk bisa masuk ke kelompoknya.

Bagai disiram air panas, otak Leva mendidih seketika. Dan ia tidak mau Baron berlanjut bersujud di kakinya, jadi ia putuskan untuk mengalah. Tetapi rasa jengkel masih menyelimuti hatinya. Bagaimanapun juga ia tidak rela berdekatan dengan Baron dalam jarak satu meterpun.

"Leva mikirin apaan, sih? Mukanya sampe merah gitu," sapa Bayu selaku wakil ketua OSIS.

Leva menghentakkan kedua tangannya ke atas meja, "Iya, nih. Lagi kesel terus banyak pikiran juga, Bay."

"Lo bisa cerita ke gue, Lev. Itu juga kalo lo mau, sih,"

"Hehe, mungkin lain kali ya gue cerita. Oh, iya, kabarin anak OSIS yang lain ya, nanti pulang sekolah kumpul di ruang OSIS,"

"Oh, oke. Siap, Bu Ketos. Kalo gitu gue duluan, ya. Sampe ketemu nanti, Lev." pamit Bayu sambil mengacungkan jempolnya. Leva melambaikan tangannya sambil tersenyum dan beranjak pergi.

======

"Oke, cukup sampe disini aja rapat kita hari ini. Jangan lupa absen dulu yang belum absen, ya. Makasih sekali lagi. Duluan ya, semuanya. Assalamualaikum." tutup Leva sembari keluar dari ruang OSIS.

Ponsel yang ia taruh di saku seragamnya bergetar. Caller IDnya menunjukkan panggilan dari kakaknya.

"Halo, Assalamualaikum,"

"..."

"Kenapa?"

"..."

"Yaudah, yang serius ya belajarnya. Leva mah gampang, kok. Naik angkot juga jadi,"

"..."

"Iya, Waalaikumsalam."

Sebenarnya Leva tidak yakin masih ada angkot yang lewat. Karena sudah terlalu sore dan sekolah sudah sepi. Bisa saja Leva absen untuk menghadiri rapat OSIS. Namun ia tidak ingin lepas dari tanggung jawabnya. Dan abangnya memberi kabar bahwa ia tidak bisa menjemput Leva karena masih ada beberapa jam pelajaran di kelasnya, ia menawarkan Leva untuk menunggunya di sekolah namun Leva lebih memilih untuk pulang duluan sendiri.

Take It BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang