=========
"Baron rumah lo gede banget dah, buset," ungkap Leva kagum sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Hari ini latihan drama yang terakhir dilaksanakan di kediaman Baron. Karena teman – teman sekelompok Leva banyak yang terlambat datang, jadi ia terpaksa menerima ajakan Baron untuk berangkat bersama ke rumahnya.
"Norak, ini rumah orang tua gue. Karena rumah ini dibeli bukan pake uang gue." ralat Baron sambil mengangkat kedua tangannya.
"Oh, iya. Itu maksudnya. Btw, orang tua lo mana, Bar?"
"Ada. Mau salaman dulu?"
"Iya. Tolong panggilin dong, Bar." Baron langsung menaiki tangga rumahnya dengan santai. Tak beberapa lama kemudian, sesosok perempuan berparas cantik dan anggun berjalan menuruni anak tangga satu persatu bersama Baron.
"Assalamualaikum, nak. Temannya Baron, ya? Nama kamu siapa?"
"Waalaikumsalam. Nama saya Leva, Tante. Oh, iya. Rumahnya dipake buat latihan gapapa, ya, tante?" ucap Leva sembari mencium punggung tangan Bunda Baron.
Mila—Bunda Baron terkejut mendengar nama perempuan tersebut. Tak lama kemudian memasang senyum yang tidak sampai ke matanya. "Iya, gapapa. Yang serius ya, biar nilainya bagus. Yaudah, Tante duluan ya, permisi."
Leva masih menatap Tante Mila hingga sosoknya tidak terlihat kembali. Suara deru kendaraan terdengar dari garasi rumah Baron, dan teman – temannya telah datang.
Sementara Mila, sesampai di kamarnya langsung memencet nomor telepon yang sudah ia hapal di luar kepalanya. Sambil menunggu panggilannya diangkat, ia mengetukkan jari di meja dengan cemas. Ketika terdengar suara berat disana, Mila langsung mengutarakan apa yang ingin ia ucapkan kepada sosok yang baru saja mengangkat panggilannya dengan rasa cemas.
------
"Halo,"
"Leva ini udah malem, kamu kok belom pulang?"
"Masih di rumah temen, sih. Tapi udah sendirian, Bang. Jemput Leva, ya."
"Iya, kamu kasih tau alamatnya lewat sms, ya."
"Oke." tutup Leva sambil mematikan panggilannya dan segera mengirimi alamat rumah Baron via SMS. Jam di pergelangan tangan Leva menunjukkan pukul 8.15 WIB.
Baron datang sambil membawa 2 cangkir teh tarik hangat dan menyusul Leva di ruang tamu. "Ini Lev, minum dulu." Leva langsung menerimanya dengan senang hati dan menyeruput minuman kesukaannya dengan pelan.
"Makasih, ya, Bar. Btw, hari ini kayaknya kita adem ya, hehe," kekeh Leva.
"Masa harus ribut mulu? Yang ngeliatin gue sama lo ribut juga capek kali, ah,"
Leva menggeleng. "Mungkin buat hari ini doang, sih. Tapi gatau ya, besok bakal ada apa diantara lo sama gue."
"Dan please, jangan bikin mood gue hari ini ancur karena perdebatan lo sama gue." sergah Leva cepat sebelum Baron membalasnya. Keduanya sama – sama terdiam menikmati secangkir teh tarik hangat.
Suara klakson terdengar dari depan rumah Baron. Leva bergegas membawa tasnya keluar dan Baron mengantarnya hingga depan rumah.
"Kakaknya Leva, ya?" sapa Baron.
"Iya. Kenalin, gue Devian. Lo pasti Baron, kan?"
"Hehe, iya, Bang."
Sebelum rembulan semakin terang, Leva memotong perkenalan mereka. "Oke, cukup kenalannya. Ayo, Bang. Baron duluan ya, makasih banyak. Assalamualaikum." Devian dan Leva langsung menaiki kendaraannya sembari meninggalkan pekarangan rumah Baron.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take It Back
Teen FictionHidup memang tak bisa diprediksi. Hanya tuhan yang tahu segala kejadian yang akan datang. Jadi, manusia hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi pada kehidupan mereka. Menunggu? garis bawahi itu. Menunggu.... Hal yang dibenci sebagian orang. Men...