-[ S A T U ]-

145 13 26
                                    

Venice, Italy
06.00 A.M

Kopi di pagi hari, sangat jauh berbeda pada kampung halamanku. Gondola panjang mengapung dengan orang-orang berseragam garis hitam putih, memanjakan pandangan dari tempatku berada. Seduhan kopi macchiato membawaku keluar dari ruangan dengan jejeran barista beraroma kopi. Penyanyi jalanan memetikkan gitarnya. Dengan mantel yang bertengger di bahuku, jalanan batu yang dingin tidak segera membawaku pulang pada hotel mewah Alponte Antico Hotel.

'Kriing' Pintu itu terbuka.

"Welcome to L'Ombra del Leon,"
"Selamat datang di L'Ombra del Leon," Terdengar bukan seperti sapaan murni melainkan kewajiban yang membosankan menjadi ramah pada orang asing untuk menghindari kritik oleh para pelanggan agresif mereka yang tak lain melebihi wanita menstruasi.
L'Ombra del Leon, kafe mediterania tepat di samping jejeran gondola kuno dengan kursi beludru merah bak singgasana Napoleon.

"French Bread's one sir,"
"French Bread satu tuan,"
Aroma kopi telah hilang, aroma roti Francais sangat pekat itu menghujam seluruh ruangan. Aku berada di Italia tentunya, tapi pasta khas Italy sangat tak cocok dengan moodku pagi ini. Jam menunjukkan pukul 06.57, aku mengulurkan euro padanya. Penjual itu melirik kamera khas turis yang menggantung di leherku, "May I take some photo with you?" tanyaku ramah pada laki-laki paruh baya yang melirik kameraku. "Of course ma'am," Nada dan ekspresinya menandakan laki-laki paruh baya itu sangat tertarik. Tubuh yang tidak ramping, dengan kumis tipis berwarna putih berdiri disampingku dan ,

'Cekrek'

Foto terambil, senyum paruh baya yang tulus. "Thank you so much ma'am," Aku membalas senyumannya,"Your english spoke so well sir," dan penjual itu pun berterimakasih kembali. Entah berapa kali tanda terimakasih itu muncul aku tidak bosan. Akupun melangkah keluar,
"Wait!" Penjual baya berumur empat puluh lima tahun itu menahanku sementara aku hanya menaikkan sebelah kanan alisku. "What's your name?"

"My name is Savannie Amore," membalikkan badanku dan melanjutkan kata kataku,"and don't call me ma'am cause i'm still twenty one," Aku melangkah keluar dan kembali menginjak jalanan batu tepat ketika penjual itu berteriak, "Goodbye Ms. Amore and thank you so much," sambil melambaikan tangannya. Mungkin aku sedikit tersinggung karena tampak lebih tua daripada yang kubayangkan.

Namaku Savannie Amore, dalam bahasa berarti Padang Cinta. Apa maksud padang cinta? Padang tandus yang dengan ajaibnya memekarkan cinta yang meluas rata? Mengagumkan, kurasa aku tak mendapat alasan mengapa aku menjadi padang cinta. Dan itu membuatku merasa sedikit tak pantas.
Umurku dua puluh satu tahun, ini kota kedua yang telah ku kunjungi setelah London. Aku tinggal di London sejak berumur tujuh belas tahun. Bertanya tentang kampung halamanku yang berada di Indonesia, mungkin bisa dibicarakan nanti. Karena sinar hangat yang menjemur kulitku menjadi semakin temaram dan menjatuhkan tetesan peluh.

Matahari mulai menghangatkan kota ini, pukul delapan sudah menanti. Kursi kayu kosong mengilap menghadap gondola yang baru saja mendayung dengan sepasang kekasih telah ku duduki dengan roti dan kopi. Aku tidak sendiri disini, mungkin tepatnya saat ini memang sendiri tapi tidak di kota ini. Aku menyeruput kopi di tanganku yang diberi lubang kecil pada tutup putihnya.

"Woii!" Seseorang menutup mataku dan merangkul leherku. Sontak, aku menyembur dengan kopi yang berada di mulutku membuat mereka melihatku melihat kembali indahnya kota ini. "Gila lo,"
Gumam salah satu dari mereka. "Duh, mantel gue jadi kena kopi gini."
Sepasang tweedledum perempuan kurus yang tak kalah jangkung denganku dan satu makhluk yang bukan anggota tweedledum kurus tetapi selalu menjadi bagian dari kami ,Fes sang gadis cerewet. Dan mulutku menganga tak bisa menahan teriakan ketika aku melihat ketiga perempuan ini.
Sheva, Steca, dan Fescia. Perempuan yang menemani mulai masa dimana aku masih ingusan sampai masa jati diriku ditemukan.

GlassesWhere stories live. Discover now