"Lo nggak kenapa kenapa kan?"
"Lo darimana?"
"Gue dari tadi nahan nangis ,Re."
"Lo nggak habis diapain gitu kan?"
Aku hanya menjawab dengan senyuman,
"Re, gue nunggu berjam-jam sampe pagi tapi lo."
"Lo parah Re." Sheva merendahkan suaranya, suaranya parau. Tenggorokanku terasa sangat kering, aku merasa bersalah. Ludah yang berkelenjar di dalam rongga mulutku terasa susah dicerna. Mata mereka berkedut, aku sungguh membuat khawatir. Steca yang tampil dengan rambut panjang rapi khasnya tampak berantakan. Aku mencoba menjelaskan semuanya.
"Itu alasan kenapa lo senyam-senyum daritadi?" Tak ada yang kubisa jawab selain mengangguk. Kami semua berkumpul di kamarku. "Lo nggak mabuk kan Re?"
"Enggak." Jawabku."Lo masih utuh kan Re?"
"Masih.""Lo ciuman nggak Re?"
Pertanyaan ini tanpa tedeng aling-aling, aku mengambil bantal terdekat dan memukuli si penanya, Fes. "Wah, gue nggak segampang itu."
Mataku menatap kebawah. Berbicara tentang sulitnya jatuh cinta hanya membuat memoriku bangkit lagi. Seperti manusia yang hidup dengan indahnya bersama jutaan memori. Hingga suatu lasan membuat manusia itu terkubur beserta memorinya. Tapi seperti cahaya kilat entah darimana memori itu menyertai tubuh yang telah mati, mengembalikan memorinya. Tapi sayang, tubuh itu telah mati. Menyertakan memori untuknya hanya akan menjadikannya sebagai zombie yang tak akan pernah sama lagi. Sama halnya jika tenggelam dalam luka, dan tidak bisa mengetahui bagaimana akhirnya."Re?" Sheva mengguncang-guncangkan tubuhku.
"Re? Lo kenapa?"Tubuhku masih terduduk, masih pada posisi yang sama pada saat yang sama. "Gue tenggelam."
"Maksud lo apa? Sorry kalo kata kata kita nyinggung lo."
"E-eh emang barusan gue bilang apa?"
Mereka menatapku heran."Tenang aja gue nggak gila," aku melanjutkan,"Gue ngantuk banget, gue tidur dulu deh."
Kutarik selimutku, membelakangi mereka. Aku baru saja akan menutup mataku yang secara ajaib tidak merasa lelah.
"Gue ngesuddenly dare lo, Padang Cinta."Aku membuka mataku. Suara Steca dibelakang sana, suaranya nyaring dan sedikit menantang. Aku terduduk, suasana hening. Aku menatap dinding dan aku masih membelakanhi mereka. Kulihat wajah mereka semua menungguku menjawab. Kutatap mereka,"Gue terima suddenly dare lo, para orang utan gue." Aku tersenyum, Fes memelukku bersama yang lainnya.
Suddenly dare, permainan tantangan yang dilakukan tiba-tiba bagi para anggota yang telah menyetujuinya kapanpun sampai mereka melepas janji itu entah kapan. Permainan yang sudah lama sekali terkuburkan, pikirku. Hingga detik ini, kamipun tertawa.
Bernostalgia. Tertawa . Sungguh bodoh sekali.
"Re, gue nge dare lo buat ketemu Ace lagi."
"Saat daun terlepas dari batangnya dia juga membutuhkan tanah untuk sandarannya." Lanjut Sheva.
"Maksud lo?"
"Lo mau Ace jadi sandaran gue?" Aku mengangkat salah satu alisku."Hujan telah turun dari awan dan mereka berpaling pada tanah. Semua orang membutuhkan tanah, Re."
Steca mengangkat bicara.Aku mengangkat bahu dan tanganku membentuk tanda tanya saat Fes menyekat ku tiba tiba,"Ketemu Ace, Amore."
Katanya melanjutkan,"Menurut gue-"
"Menurut kita!" Stec menambahkan.
"Okay fine, i mean kita harus ketemu Ace lagi."
Aku menatap mereka, dan aku putuskan. "Baiklah."
YOU ARE READING
Glasses
Teen Fiction[ SEGERA DITERBITKAN ] Dahulu, kacamata tak menghalangiku akan sinar matahari sekalipun itu lecet. Dahulu, apa yang kulihat dalam kacamataku selalu berwarna walaupun itu retak. Namun saat ini sudah berbeda, sesuatu yang telah kukatakan sanga...