- [ E M P A T ] -

40 8 20
                                    

Aku membasuh wajahku dengan air kran di salah satu wastafel itu. Aku menatap wajah di cermin. Pakaianku basah, dan aku tak memedulikan itu. Tangan menyangga tubuhku untuk tetap tegak berdiri. Kuusap rambutku dengan air diantara jari-jariku.
Mantel basah bergelung pada pundakku yang kokoh. Mataku tertuju pada Amore saat kututup pintu toilet pria.

"Ah- hai!"
Jarinya menunjuk-nunjuk mantelku,"Itu salahku," Amore menautkan alisnya.

"I see more problem- i think?" Kode matanya untuk menengok apa yang terjadi pada kerah leherku.

"More." Aku mengedikkan bahu. "Kau mungkin perlu mantelku," kataku disela iringan langkah.

"Kau tahu, mantelku tidak separah apa yang kau kenakan." Lanjutnya.

Ucapan thanks pada bibirku membuatnya tersenyum lagi dan lagi. "Ah-ya, selera mantel yang bagus."

"Of course."
Amore, cinta.
Sebuah padang cinta. Dia menyampirkan mantelku disekitar lehernya. Meninggalkanku jalan menatap punggungnya.

You've got a hold of me
Dont even know your power
I stand a hundred feet
But i fall when i'm around you
Show me an open door
Then you go slam it on me
I can't take anymore
I'm saying baby
Please have mercy on me
Take it easy on my heart
Even though you dont mean to hurt me
You keep tearing me apart

□ □ □

Tatapannya adalah alasan mengapa ku tetap berdiri. Tatapannya adalah alasan mengapa ku turun dari awan halus yang menaungi kulitku.

Mr.Blue

Biru, matanya yang menghanyutkan. Membuatku tenggelam. Membuatku terapung kembali. Ah, ku lukis setiap bagian wajahmu yang tenang. Di luar sini, bersama teman - temanku dan dirimu yang mengapung bersama. Ace mendayungnya dengan sangat indah. Perjalanan keduaku dengan gondola. Tentu untuk pertama kalinya bagi teman-temanku.

"Blue?" Tanyaku menyentuh ukiran disisi gondola.

"Nama." Jawabnya.

Steca angkat bicara,"Kurasa gondola lain tak mempunyai label seperti ini."

Aku tak memikirkan itu, lebih tepatnya memikirkan gondola lainnya.
"Sampai."

Gereja St.Mark berdiri megah di hadapan kami. Ace menuntun kami, tapi aku menahannya, "Ace."

"Sayap malaikat." Kataku kepadanya.

Ace kembali pada gondolanya bersama Sheva dan Fes.
"Tunggu apa lagi?" Kami menuju tempat yang sama. Saat ini bersama Sheva dan yang lainnya.

"Kurasa kita tak bisa melihat sang sayap."

"Whoa, kenapa tidak?"

"Rasi bintang hanya ada saat malam hari."

Sheva mangut-mangut. Fescia memfoto setiap bagian apa yang kami lewati. Terutama wajah nya, Sheva, dan Steca. Selfie.

"Tidak ikut?" Ace menunjuk dengan kepalanya.

"Tidak."

GlassesWhere stories live. Discover now