- [ E N A M ] -

33 5 4
                                    

Aku tak bisa bangkit rasanya. Tangan-tanganku seperti kaku. Tak salah lagi, demam menyerangku. Lapisan selimut tebal tak membantu. Jam telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ah, Amore pasti mencariku.

Bodoh! Batinku.

Dia tak pernah tau tempat tinggalku. Yang Amore tahu hanyalah galeri dan gondola berlabel Blue. Dimana dirimu Amore? Aku mencoba bangkit dari ranjang ini. Rasa sakitku takkan menghalau untuk bertemu denganmu.

Aku mencoba terduduk, apa yang kulakukan hanya ingin bertemu Amore. Suhu pada lantai sangat jauh berbeda. Aku berjengit, melawan lantai dingin itu hanya berakhir terjatuh.

Seberapa sakit diriku, akan lebih sakit jika mengingkarimu.

Tak salah lagi, ku telah jatuh cinta.
Tanganku bertumpu pada meja kayu tepat disampingku. Aku mengambil mantelku, menyusup matahari di luar sana. Matahari tak berguna sepertinya, kubiarkan tubuhku melawan angin semilir. Langkah kakiku menuju tambatan gondola.

Shit! Orang bodoh dengan pakaian 'steal you' menabrak bahuku. Pening menyerang, gelengan kepalaku berhasil mengalahkan pening.
Jalan yang kulalui seperti bergoyang, namun ku tak peduli. Yang kulakukan justru mempercepat langkahku.

Tidak ada Amore disana. Sangat mungkin dia menuju restoran sekarang.

I'm on my way Amore.

□□□

Ini nyata, sungguh. "Re?" Fes menepuk bahuku, pandangan matanya mengarah pada seseorang di atas panggung tersebut. Teman-temanku menyadarinya. Menyadari Dale berdiri disana.
"Ayo- aku tak memiliki banyak waktu."

Mataku menatap bawah, menghiraukan teman-temanku yang entah itu menyusul atau tidak. Kudengar orang-orang dibelakang sana bertepuk tangan.

"Amore."

Semuanya seperti berhenti. Suara paraunya yang telah banyak berubah membuat seluruh ruangan menatap ku yang memunggungi mereka. Tak tahan, semua memori ini tak lagi hanya berputar di dalam otakku yang hanya sebagai CD kawakan berlabel Rekaman Harian.
Tidak.
Takkan kuhiraukan suara dibelakang sana. Langkahku yang terjeda membuat semakin cepat kemudian. Jalan pikiranku mengubah yang telah lama rindu. Kulewati pintu kaca itu dengan bel menghiasi diatasnya. Jalan ini sungguh sepi sebelum kularikan diriku dari keramaian. Sunyi.

Lari menuju kesunyian, jantung berdetak tak mengiringi arloji diatas nadiku. Lari seperti cahaya, angin, dan apapun yang bersamaku saat itu juga. Pikiranku berjalan lurus pada sesuatu yang pasti kutemukan walau ku tak pernah tahu dimana itu. Kau pikir dimana aku sekarang?
Di tepi pantai?

Di atap bangunan untuk memuja turis bodoh?

Di atas batu karang dan menunggu sesuatu datang?

Tidak. Jawaban bodoh. Sudah kubilang aku tak tahu dimana keberadaanku. Setidaknya tidak seindah dalam clue-diatas.  Meninggalkan teman-temanku adalah cara terbaik untuk menghindari apa yang kuhindari.
Bersamanya akan begitu indah, bercerita akan masa lampau, reuni kecil tiba-tiba. Tertawa melempar lelucon. Itu semua saat aku berada di bawah topeng porselen tak terlihat.

Topeng itu menghilang?

Jalan buntu, aku takkan kembali. Untuk saat ini lebih baik sunyi dan sendiri. Aku terduduk, tidak ada apapun disini. Tidak ada aliran sungai Venesia yang memanjakan mata. Apa yang membuatku tenang adalah jurnal. Kubawa jurnal dan yah- kacamata ini kemanapun. Jurnak klasik yang sudah ada sejak aku bersekokah di Indonesia. Apa yang kutulis adalah Glasses.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 16, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GlassesWhere stories live. Discover now