Dosa Kita

81 1 4
                                    

Warna langit bukan kehitaman lagi, sudah sedikit lebih terang dengan secercah cahaya dari ekor matahari. Kini keabuan, bukan lagi kelam.

Dengan dua karang hidup hidup dan dua karang mati. Saling menumpu.

“Lama sudah kulampaui benciku,” dalam satu tarikan nafas karang hidup pertama yang berupa gadis itu berkata.  Layaknya seorang ratu dari negeri antah-berantah ketika hendak berpidato. Memberi pembukaan. Kemudian setelah menghembuskan nafas panjang ia melanjutkan, “hingga akupun rela tak berbakti pada ibuku”

“Bagaimana bisa kau sepemaaf Tuhan?” Tanya karang hidup kedua–sang pemuda–dengan nada tak percaya. Kikikan geli justru terdengar keluar dari bibir penuh gadis itu. Gadis yang kini telah berada dekat dengannya. Setelah sebelumnya jarak mereka terpisahkan ombak di bawah celah antara dua karang. Penuh dengan amarah dan kebencian, dua karang hidup itu penuh api di atas sebongkah karang sungguhan.

“Haruskah aku membunuhmu? Menabrakmu? Menindasmu dengan ban Porscheku? Membuang serpihan tulangmu ke pinggir jalan?”

Dua karang hidup itu semakin mendekat, sang pemuda berbisik memerintah pada si gadis, “Jangan sia-siakan 4 Michelline berhargamu untuk mendapatkan setetes darah kotorku!”

Hanya berselang beberapa menit, suara decak, desahan dan rintih tangis tertutup gemuruh ombak kemudian. Tangan yang semula berada di samping tubuh masing-masing itu kini bekerja. Dengan fungsi masing-masing seperti fungsi jantung atau lambung. Kini dua karang itu tak terpisahkan jarak semilimeterpun.

Lelehan air yang semula di ufuk kanan-kiri itu menjatuhi V-necknya. Tidak basah, hanya ingin eksistensinya diperhitungkan.

“Mari.. kita bagi ‘itu’..”

“Bahkan pisaupun aku tak punya”

 “Biarkan itu terbagi dengan sendirinya. Aku penghianat, kau pembunuh. Maka bagiku kita impas”

“Untukku tidak”

"Bagiku iya”

 “Diam!”

Kicauan burung-burung pelikan mulai terdengar. Disusul suara ceburan benda ke dalam air. Benda itu kemudian hilang ditelan ombak.

Di bawah sinar matahari meyingsing.

Dua benda itu terapung,

tak bernyawa dengan beban sama rata..

Dan kita bersama.. sekali lagi, tuk selamanya..

Biar mereka tahu.. kita satu..

Mulai MelangkahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang