Jebakan Nostalgia

75 2 0
                                    

            Menurut penuturan sopir taksi, rumahnya berjarak 25 km dari Syamsudin Noor yang terletak di Banjarbaru. Langit dari balik jendela taksi amat cerah. Setelah beberapa menit berlalu yang terasa begitu cepat, suara mesin argo yang berbunyi menyadarkannya dari lamunan. Sedikit percikan bahagia membuncah, membawa perih dan gundahnya pergi. Kecil senyumannya terlihat dari ujung bibir. Sebut ini adalah pelariannya, melebihi jarak sebuah selat antara dua pulau. Biarkan ia sejenak merasa bahagia dari segala laranya, merantau barang seminggu.

            Terngiang jelas di ingatan kala minggu lalu ia bertemu lagi dengan beberapa kawan lama. Sebuah reuni agaknya bisa disebut keceriaan, nostalgia, temu kangen kala pertemuan sebelumnya adalah kesenangan. Versinya berbeda, sebuah bencana. Tatap dua bola mata membawa duka bak siraman alkohol di atas luka menganga. Apalah arti reuni, batinnya. Meski sebenarnya sebelum-sebelum ini selalu mengharapkan reuni, begitu terjadi dan kesedihan menghampiri, jeralah ia. Cukup sudah.

            Tak terlalu terkejut ia ketika argo yang tertera cukup merogoh kocek, toh ia sudah menyiapkan uang. Koper hijau pupusnya berdiri sempurna di samping kaki kanannya. Menguatkannya seolah berdendang, ‘aku saja bisa berdiri tegak, kau pasti juga bisa!’. Sebelum sempat menyapa atau malah membuka pintu, seorang pria paruh baya di usianya yang mungkin di ujung 50 melihatnya dari balik pagar pendek. Tangannya yang memegang selang air turun sejenak. Tumpahan air riang mengalir di taman halaman. Langkahnya tegap menuju keran. Mematikannya kemudian membuka pagar yang tergembok hitam, begitu klasik. “Jam berapa dari sana? Kenapa nggak minta ayah jemput?” nada ramah itu terdengar nyaman. Pria itu menariknya dalam peluk sesudah gadis itu menyaliminya. Mata mereka bertemu pandang. Senyum gadis itu terkembang lagi, lebih ceria, “Sekitar jam 1 yah, tapi delay 2 jam. Aku bawa bread papa’s kesukaan adik”.

***

            Ibunya memasakkan sayur bening dan dadar jagung. Makanan sederhana sarat gizi dengan rasa yang tak kalah dengan di depot-depot Jawa. Meja di ruang makan itu penuh piring. Lima orang anggota keluarga berkumpul dengan tawa riang kala gadis halaman itu menceritakan pengalamannya selama beberapa bulan kebelakang. Sampai sang kepala keluarga angkat suara, “Jadi, dosen atau pasien mbak ada yang rewel?”

            “Sama sekali nggak ada”

            “Sudah liburan atau ijin? Jangan bolos loh  mbak..”

            “Nggak bolos juga, bukan waktunya shift. Sudah diberi tugas paper juga, nggak begitu nganggur

            “Kapan balik mbak?”

            “Masih lusa. Besok mbak mau jalan-jalan, ikut?”

            “Ikut!!!!”

***

            Kamar itu sendu, semuram hati yang menyinggahinya, gadis di pagar depan. Namanya tertempel di pintu kamar, Ananda. Biasanya ia tidur dengan adik bungsunya yang masih SMA, tetapi entah mengapa adiknya belum juga masuk ke kamar. Mungkin masih menonton televisi di ruang tengah. Ketukan dari balik pintu kamar membuatnya terduduk dari rebahan sambil berkata, “masuk”. Ternyata ibunya yang mengetuk pintu kamar, kemudian masuk sambil mengambil tempat duduk di sisi sebelahnya duduk. Punggungnya dan ibunya bersentuhan. Nanda tersenyum sekilas, “Ibu ingin curhat apa?”

            “Yang harusnya cerita itu kamu bukan ibu. Wong ibumu ini baik-baik saja kok,” jawab ibunya dengan nada menyindir. “Aah, ibu nggak asyik ah.. Aku dipaksa nih ,” nada Nanda merajuk, kemudian bercerita, “Minggu kemarin ada reuni di rumah Rima, itu saja. Acaranya seru kok bu, ada hadiahnya segala, banyak guru yang datang. Kami bertukar kontak juga”. Mata ibu menatap Nanda yang terlihat sedih meski bercerita dengan semangat. Si sulung dari tiga bersaudara ini adalah salinan dirinya. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi dengannya terlepas dari kenyataan bahwa Nanda memang putrinya. Helaan nafas ibu kemudian terdengar, dilanjut dengan nasihatnya “Nanda, ibu ingin bilang satu hal sama kamu. Intinya sesuatu itu harus di-ikhlaskan. Entah itu masa lalu atau urusan yang terjadi sekarang. Sudah ngantuk berat ini, ibu tidur dulu ya..”

Mulai MelangkahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang