Im baaaaccckkkk!! Selamat membacaaa ;)
Aku mengakhiri hariku yang membosankan di sekolah ini dengan pergi ke kantin bersama Meg dan May. Sekolah kami memang mengizinkan para murid untuk bersantai di kantin setelah jam sekolah. Penjual-penjual kantin ini juga belum tutup jadi kami bisa nongkrong di sana sambil ngemil-ngemil cantik gitu, deh.
Kami memutuskan untuk memesan makanan yang tidak bisa dikategorikan sebagai 'cemilan', sih. Tidak apa-apalah, kami memang selalu lapar.
"Mba, bakso kwetiaw sayur satu ya!" pesanku sambil menyodorkan uang pas untuk makanan kami bertiga.
"Kalo aku bakso campur, mba!" kata si kembar dengan kompak.
5 menit kemudian, pesanan kami datang. Aku mengambil 4 sendok sambal dengan saos yang lumayan banyak. Lagi mood yang pedas-pedas, nih. Mungkin untuk menumpahkan kegalauanku. Ah, semua karenanya.
Tadi siang, aku sudah bercerita kepada Meg dan May mengenai Marcel yang membuatku sangat kesal. Mereka tidak kaget dengan ceritaku karena mereka tahu ujung-ujungnya akan begitu. Hhh, mungkin aku harus cepat-cepat menjauhinya. Kalau sudah terlanjur sayang kan ribet jadinya...
Di sela-sela makan, aku dan si kembar berbicang-bincang tentang Niall Horan yang baru saja mendapatkan kekasih baru. Memang sudah
"Sha, bukannya kata lo hari ini mau ke toko buku sama Marcel?" tanya May membuka topik baru. Aduuh, bukannya ngomongin artis-artis lain malah ngomongin orang yang sudah dari tadi menghuni pikiranku ini.
"Oh iya, Sha. Kok lo malah nongkrong sama kita sekarang? Gue sama May kan dijemputnya masih sejam lagi, loh. Dia gak marah emang kalo lo telat?" Meg ikut-ikutan bertanya.
"Gimana mau telat? Jadi pergi aja kagak," kataku sambil memalingkan wajah.
"Ya elah, masalah yang tadi pagi lagi? Kan itu lo yang bilang mau batalin ke toko buku."
"Iya, Sha. Jangan BT gitu dong. Tapi sebenernya lo masih mau kan pergi sama dia?"
"Mau, sih. Tapi dia kalo udah jahat, jahatnya gak nanggung-nanggung deh," kataku mencurahkan isi hatiku.
"Yaudah, gue gak bakal jahat lagi deh. Pergi, yuk," kata sebuah suara yang tidaklah lagi asing di telingaku.
Aku langsung menengok ke belakang dan menemukan wajahnya yang berada tepat di depan wajahku. Seperti biasa, wajahku bersemu merah.
"Sha, lo kaya tomat," komentar Meg. Makasih, Meg, makasih :')
"Eh, mama udah jemput kita loh. Aku sama Meg duluan ya, Sha. Dah Marcel!" pamit duo jahat ini.
"Good luck!" bisik mereka sambil mengedipkan satu mata padaku.
Jelas saja mereka berbohong padaku. Nyari alasan saja nih supaya aku berdua dengan Marcel. Mereka kan tadi bilang bahwa baru akan dijemput sejam lagi. Sedih, deh, ditinggalin berdua sama raja gombal ini. Awkward...
"Hmm... Kok lo masih di sekolah?" tanyaku berusaha memulai percakapan.
"Lah kok malah ngajak ngobrol, sih? Udah jam 4 loh. Pasti lo dijemput jam 5, kan? Mending kita pergi sekarang aja," ajaknya diikuti dengan senyuman yang emm... tulus.
"Ayo."
Untung saja aku belum membatalkan rencanaku ini ke Pak Jono.
***
Kami naik mobil Marcel untuk sampai kesana. Supir Marcel ternyata adalah teman SD supirku. Kok dunia bisa sempit sekali, ya?
Selama perjalanan, kami hanya berdiaman saja. Bukan diam yang canggung atau menakutkan, namun diam yang menenangkan. Aku memutuskan untuk menengok ke arahnya. Pengen deh merhatiin wajah dia yang kalem gini, gak nyebelin. Saat bertatapan dengannya, aku sadar bahwa sudah dari tadi Marcel memperhatikanku.
"Cie, ngelirik-lirik ke arah gue," ledek Marcel.
Aku membela diri, "jelas-jelas lo duluan yang ngelirik tau. Gue kan merasa dilirik tadi, ya udah gue nengok ke lo."
"Ke temen sendiri tuh gak boleh bohong, Sha. Dosa."
"Terserahhhh!"
Aku kembali memperhatikan keadaan jalanan yang ramai. Melihat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh. Aku membayangkan bagaimana jadinya jika aku bekerja di salah satu gedung-gedung ini. Selang beberapa menit, akhirnya aku sadar bahwa kendaraan kami telah melewati toko bukunya.
"Toko bukunya kan di belakang situ, Mar," kataku heran.
"Iya," jawabnya singkat.
"Kok kita gak berenti? Jangan-jangan lo mau nyulik gue, ya? Pak, berhentiin mobilnya! Marsha takut," aku mulai mengoceh.
Aku bisa merasakan tangan Marcel yang mendekap mulutku. Aku menjerit sekeras mungkin. Gawat nih, kayaknya dia memang benar-benar penculik.
"Ssssssttt! Diem dong, Sha," katanya lemas. Mungkin dia tidak bisa menangani seorang Marsha yang tidak bisa diam. "Gue kan mau surprise gini kenapa malah disangka jadi penculik?"
"Elu kenapa dah tiba-tiba surprise gini? Minta maaf aja kaga udah main surprise-surprisean."
"Jahat salah, baik juga salah. Ya kan gue merasa bersalah, Marshaaaa. Sebagai permintaan maaf, gue mau nraktir lo di kafe kesukaan gue. Mau gak?"
Wah, ternyata bisa juga nih orang ngasih 'hadiah' permintaan maaf yang bagus.
"Ya gue sih gak bisa nolak rezeki. Ya udah, Marsha mau."
"Masih aja ya jual mahal..." sepertinya Marcel lelah.
***
Seperti biasaa, comment + vote yaaaaa ;;)))
KAMU SEDANG MEMBACA
Bookstore Love
RomanceAda 7 milyar orang di Bumi ini, berarti ada 7 milyar kisah untuk di ceritakan. Namun, kali ini aku akan mengisahkan ceritaku bersamanya. Memang tidak seromantis atau se-cute film Disney, namun aku sudah merasa bahwa aku perempuan paling bahagia yang...