Bab 6

78 9 0
                                    

!BACA YAAHHH!

HAAAI IM BACCKKKK!!! Makasih ya buat kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca buku ini yg masih jauh dari sempurna (ea)

O ya! kalo kalian mau ngasih saran untuk siapa artis yang cocok untuk jadi cast buat masing-masing tokoh di buku ini, komen saja yaaa...

Yang sudah aku pikirin sih Mario Maurer untuk jadi Marcel, tapi garagara nonton ILY from 38000FT jadi kepikiran buat jadiin Rizky Nazar sebagai Marcel :') Maudy Ayunda akan menjadi tokoh Marsha dan Si kembar akan dimainkan oleh Siangie Twins (aku udah gaada ide lagi). Plis banget kasih usul ya!

Btw, ini gak nyambung sih. Tapi APA CUMA AKU DOANG YG LAGI TERGILA-GILA SAMA RIZKY NAZAR AND MICHELLE ZIUDITH??!?!?!?! Film nya nyesssss banget, bikin babababappepepeper ;) Untuk yang belom nonton, jangan lupa nonton yaaa! Gak bakal nyesel deh (lha malah promosi). Tapi seriusan deh, must watch banget. Mungkin ada 100 ember guede yang udah nampung tangisan aku pas nonton itu #teteplebay

Sudah dulu yaa, kita langsung aja cekidot ke bab 6 nya. Maaf kalau kepanjangan. Jangan lupa komen + vote story ku yaaaa!!

Salam sayang,

Aku

(ceilah misterius banget)

***

Kendaraan kami akhirnya sampai di Buch Café. Arti 'buch' sendiri adalah kata 'buku' dalam bahasa German. Katanya sih suami dari pemiliknya ini adalah orang German yang dulunya adalah penulis juga. Saat sudah memilih tempat duduk dan memesan makanan, aku melihat ke sekelilingku. Aku jadi tahu mengapa Marcel mengajakku ke café ini. Di café ini, terdapat berbagai macam buku yang kita bisa baca sambil nongkrong gitu. Keren abis.

"Bukannya buku-buku ini bisa ketumpahan makanan atau minuman gitu ya? Sayang banget kalo sampe rusak. Keliatannya antik-antik semua nih," komentarku sambil menoleh kepada Marcel.

"Sejauh ini sih para pelanggan cukup berhati-hati. Tante gue ini orangnya baik banget kok. Gak bakal di marahin atau apapun, cukup lo di denda aja. Urusannya juga cepet."

"Loh, ini usaha tante lo toh? Keren dong lo, punya anggota keluarga yang dari German gitu. Penulis, lagi," mataku berbinar-binar membayangkan betapa kerennya itu.

"Hahahah, iya." Ia berhenti sebentar. "Tapi lebih keren lagi kalo lo jadi anggota keluarga gue."

Mataku terbelalak. "Hah? Masa gue jadi tante lo? Sodara lo? Sepupu lo? Nenek lo? Om lo? Ya keleus, aneh deh."

"Gue kira lo pinter. Ternyata salah, ya."

Aku masih menatapnya dengan tatapan bingung, menyuruhnya untuk memperjelas apa yang baru saja ia katakana.

"Maksud gue, lo jadi istri gue gitu. Emang anggota keluarga tuh yang lo bilang doang apa? Nih ya dek, kakak jelasin. Misalnya kakak dari nyokap gue yang perempuan punya suami, otomatis kita panggil suami tante gue itu om. Otomatis juga dia jadi anggota keluarga gue. Ngerti dek? Mau di gombalin malah jadi gini. Pusing gua."

"Oooooh, heheheh," aku terkekeh-kekeh. Mukaku memutuskan untuk menjadi seperti tomat lagi karena perkataannya.

Aku melanjutkan, "ye maap, kan deg-degan gua kalo ngomong sama orang ganteng."

Mata Marcel langsung melotot. Sebelum ia bisa berkata-kata lagi, aku meninggalkannya. "Gue ke toilet, ya."

Lalu aku kabur.

***

Ke toilet bukan untuk sekedar kabur sih, aku juga menyempatkan untuk memperbaiki diriku. Aduh kok seperti apaan saja. 'Memperbaiki diri' maksudku adalah memandangi cermin selama 10 menit sampai aku tahu bahwa penampilanku sudah oke.

Setelah 10 menit berbenah diri itu, aku langsung kembali ke tempat di mana kami berada tadi. Aku bisa melihat Marcel sangat fokus dengan iPhonenya. Apa jangan-jangan dia sedang chattingan dengan perempuan lain? Aduh, napa jadi cemburu gini sih.

"Ehem," aku berdeham sebagai tanda 'hei-gue-disini-jangan-nyuekin-dong'.

"Lama amat lo ke toilet. Jangan-jangan lo abis meledakan bom atom di toilet ya? Ih, udah cuci tangan belom?" Lah gua malah dituduh.

"Enak aje lo. Y-ya gue abis... abis..." aku kok jadi terbata-bata gini. Belom menemukan alasan yang tepat nih. Masa bilang habis dandan? Bisa-bisa, gue malah makin diledekin sama nih orang.

"Kok terbata-bata gitu ngomongnya? O iya, kan deg-degan ngomong sama orang ganteng." Mahluk ini langsung mengerlingkan mata padaku.

Aku memutar kedua bola mataku.

Sebentar kemudian, pesanan kami datang. Bill nya pun juga sudah diletakkan di meja kami. Saat aku hendak mengeluarkan dompet, ia memberhentikanku.

"Apa-apaan sih? Emangnya kita pacaran? Gak usah sok ngebayarin gue," aku meledak di sela-sela mengunyah. Jangan dicontoh, saudara-saudara! Ngomong sambil mengunyah itu tidak baik!

"Lo bilang gitu antara lo ngekodein gue buat nembak lo atau emang lo sok gamau dibayarin. Emangnya kalo punya niat baik untuk ngebayarin harus pacaran ya? Lo kalo nraktir temen-temen tuh brarti mereka pacar lo? Wow," balasnya.

"Ya kan kalo gitu masalahnya beda. Mereka tuh sahabat gue. Lo? Mau bilang kita temenan kayaknya susah banget. Dari tadi aja kita perang kata mulu."

"Selo aja dong, nek."

"Kok manggil gue 'nek'? Emangnya gue nenek-nenek?"

"Iyalah. Kan dari awal gue udah bilang kalo gue nraktir sebagai permintaan maaf. Tuh kan lo lupa."

Memoriku flashback ke kejadian di mobil tadi.

"Jahat salah, baik juga salah. Ya kan gue merasa bersalah, Marshaaaa. Sebagai permintaan maaf, gue mau nraktir lo di kafe kesukaan gue. Mau gak?"

Oh iya.

Aduh.

Malu.

Aku hanya tersenyum masam padanya. "Kan gue kebawa suasana," kataku memberi alasan. "Lagian lo kenapa gak bilang ke gue?"

"Abisnya lo lucu sih. Mau ngingetin tapi lagi seru dramanya. Acting lo bagus banget."

Lagi-lagi, aku memutarkan bola mataku sambil memasang wajah sejutek mungkin.

***

Bookstore LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang