TIGA

203K 12.2K 294
                                    

BAGIAN DUA

AKU keluar dari ruangan Shawn sambil menghela napas. Rasa terkejut mengetahui posisi Shawn di tempat ini, berganti rasa sedih.

Tak adakah yang bisa menerimaku?
Adikku selalu bisa di terima dengan mudah. Ada banyak orang yang ingin berteman baik dengannya.

Aku memutuskan ke kamar mandi setelah sampai di lantai ruanganku. Membasuh wajahku, kemudian menatap bayanganku dalam.

Aku memang buruk.
Itulah mengapa tak ada yang menginginkanku.
Itu alasannya Shawn yang sempurna itu tak pernah memandangku dengan kedua matanya.

Pipiku sangat kurus sampai memperlihatkan tulang pipi, sedangkan mataku terlihat lebih menonjol, meski terlihat sayu.

Tak apa..
Tak apa..
Tak apa..
Tak cantik bukanlah akhir dari segalanya..

Aku terus mengulang mantra itu dalam hati.

Kemudian aku memegang pipiku, dan mendesis kesal. Jerawatku kembali tumbuh.

Arrh! Aku benci ini, membuat wajahku terlihat lebih buruk.

***

"YAN,"

Vian yang tengah memoleskan bedak kewajahnya di depan cermin, melihat kearahku lalu bergumam.

"Cewek cantik itu harus selalu pake gaun, dan higheels ya?"

Vian tertawa, dia memang tengah memakai kedua benda yang ku sebut karena akan makan malam dengan pacarnya.

"Tergantung yang lihat, La. Gak semua orang berpendapat begitu."

Aku membuka kaca mataku, kemudian menutup laptop yang ku letakkan di pahaku.

"Ah, entahlah. Aku gak pernah paham sama semua itu."

Vian menyidikkan bahunya.
"Aku pergi dulu ya, La. Dan kayaknya pulangnya lama nih. Hari ini my future husband ulang tahun."

Vian tersenyum, lalu pergi dari rumah setelah aku mengiyakan ucapan pamitnya.

Aku memikirkan pertanyaan yang kuajukan pada pada Vian tadi.

Wanita cantik itu harus selalu pakai gaun dan highells.

Entah mengapa membuatku ingin menjawabnya.

Aku tersenyum, dan melangkah mendekati lemari.
Membuka salah satu pintu, untuk mencari sebuah gaun dan higheels yang ku beli beberapa bulan lalu, namun tak pernah terpakai akibat percaya diriku yang minus.

Gaun yang berpotongan pendek itu hanya menutupi sampai atas lututku saja. Berwarna merah dengan hiasan di dadanya berupa ukiran yang berwarna perak.

Higheelsnya sendiri tak terlalu tinggi, dan berwarna hitam, dengan sedikit hiasan berwarna senada.

Aku memandang takjub tubuhku. Ini sangat indah.
Rambutku yang ikal sepanjang pinggang ku gerai. Kemudian mulai berjalan menirukan model-model yang tengah memperagakan busana di atas catwalk.

Aku memakai lipstik merah, yang tak pernah kupakai sebelumnya untuk membuat bibirku tak kelihatan pucat. Kemudian tersenyum

Wajahku masih biasa-biasa saja.

Tak apa..
Tak ada yang melihat kekonyolan mu ini..
Disini hanya ada kamu..
Tak akan ada yang menjudge, tak ada yang akan menertawakan.

Aku terjatuh saat sedang berjalan menggunakan higheels. Aku tak terbiasa.
Membuatku tertawa.
Bahkan  saja pun mengejekku.
Tanpa sadar aku kembali menangis.
Menangisi keadaanku. Aku tak pernah bisa seperti Olivia, berjalan dengan anggun saat menggunakan higheels.

Ini menyedihkan.
Kakiku terasa sakit, sampai rasanya berdiri pun sulit.

Menyadarkanku, bahwa aku memang tak akan bisa menjadi seperti Olivia.

***

When Miss Ugly Married Mr. Perfect (SUDAH TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang