BAGIAN SATU
AKU memandang hujan, dari balik kaca jendela. Masih pagi, membuat hujan kali ini begitu indah, dan menyejukkan.
Aku suka hujan, selalu membawa ketenangan untuk diriku yang sendiri.
Aku memejamkan mataku, merasakan angin yang masuk dari ventilasi udara. Menyapu lembut wajahku, bersamaan dengan aroma hujan yang tenang.
"Lara, jam berapa ini!!"
Aku menoleh pada Vivian, teman serumahku yang sedang panik."Jam lima pagi, tidurlah. Aku akan membangunkan mu setengah jam lagi." ucapku sambil tersenyum, kemudian kembali memandang jendela.
"Astaga, ku kira aku kesiangan." Vivian kembali membaringkan tubuhnya, tengkurap sambil memeluk guling.
Vivian pasti menyangka ini sudah siang, karena melihatku sudah bangun dan sudah duduk manis di sini, pinggiran tempat tidur.
"Memandang hujan lagi?"
Tanya Vivian dengan suara seraknya, khas seorang yang mengantuk. Aku menjawab pertanyaan Vivian dengan anggukan, tanpa menoleh padanya."Dari jam berapa?"
"Dari setengah jam lalu," jawabku lembut, yang dibalas dengan helaan napas lelah Vivian.
Vivian satu-satunya sahabatku di kota ini. Kami bekerja di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, juga ruangan yang sama. Hanya beda kubikel. Bukan hanya itu, kami juga tinggal di rumah yang sama. Rumah kecil, yang memiliki dua lantai, juga dua kamar.
Vivian sebenarnya memiliki orang tua yang tinggal di kota ini. Hanya saja dia tak ingin tinggal bersama mereka. Rumah ibunya memiliki kenangan yang buruk tentang keluarga kecilnya dulu, yang berakhir perceraian tiga tahun lalu. Sedangkan rumah ayahnya sudah di isi keluarga baru ayahnya. Bagaimana pun, Vivian sangat tidak suka dengan ibu tirinya.
Berbeda denganku. Aku memiliki keluarga yang hangat, meski tidak terlalu.
Ibu yang penuh perhatian, meski terkadang suka pilih kasih antara aku dengan adikku.
Ayahku yang selalu membelaku, dan mendengarkan ceritaku lalu memberi nasihat.
Juga adik yang sempurna. Tubuh yang indah, juga wajah yang indah. Semua yang kebanyakan wanita inginkan, ada padanya. Meski terkadang adikku jarang menganggapku ada, aku tetap menyayanginya. Seperti kasih sayang seorang kakak untuk adik, pada umumnya.***
JAM menunjukan pukul tujuh saat aku sudah selesai dengan sarapanku. Vivian baru turun dari lantai atas saat aku mengambil tas kerjaku untuk pergi.
"Kau sudah bekerja?" Tanyanya sambil mengikat rambutnya.
"Iya, cuti tiga hariku sudah berakhir." Vivian bergumam, kemudian duduk di kursi, meja makan.
"Maaf ya La, aku gak bisa datang ke pernikahan adik kamu. Cuti aku bulan ini udah habis. Jadi, ya kamu tahulah peraturan perusahaan."
Aku hanya tersenyum,
"iya, gak papa Yan."
"Eh ngomong-ngomong adik kamu cantik tidak, kemarin?"
Aku sedikit bersyukur atas ketidak hadiran Vivian pada pernikahan kemarin. Ia jadi tak tahu kekacauan apa yang terjadi disana. Dia juga tak tahu kalau ternyata aku lah yang menikah, bukan Olivia.
"Memangnya kamu pernah lihat dia jelek?" Tanyaku setengah bercanda. Vivian tertawa.
"Iya juga sih, pasti dia cantik banget ya. Mungkin semacam visualisasi princess dongeng ya La?"
KAMU SEDANG MEMBACA
When Miss Ugly Married Mr. Perfect (SUDAH TERBIT) ✔
Romansa#Cerita sudah diterbitkan, dan sudah tersedia di seluruh Gramedia, di seluruh Indonesia. Follow me on instagram : @diindayana_ -------------- Ini tentang seorang gadis biasa yang terpaksa menggantikan posisi adiknya, di hari pernikahannya. Menggant...