Sepatu

142 9 2
                                    

[ s e p a t u ]

   
  
   
  
Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama
Tak bisa bersatu

"Matiin lagunya, Tek. Elah."

Itu kakakku. Namanya, Dean.

"Etek!"

Namaku? Bukan, bukan Etek. Enak saja. Hai, aku Anthea. Panggil saja, Thea. Jangan Etek, ya.

"Bocah! Matiin nggak lagunya? Atau—"

"Atau apa?" Aku memotong kalimat Kak Dean yang belum sempat terlontar.

Ekor mataku menangkap gerak-geriknya. Ia sedang mendengus kesal. Aku hafal betul setelah ini pasti dia—

"Atau gue nggak jemput lo besok!" Tuh, 'kan, Kak Dean selalu menggertakku dengan hal yang itu-itu saja. Dan aku selalu menjawab—

"Basi lu, Tutup Panci!"

Aku menoleh, memastikan kalau ia akan melengos pergi sambil meracau tak jelas. Dan benar saja, kebiasaan yang selalu aku hafal di luar kepala.

Pagi, sarapan dengan oatmeal dan teh tawar. Lalu mengantarku ke sekolah. Pulang juga ia jemput. Setelah itu hilang entah kemana, mungkin pacaran dengan Kak Ara atau berkumpul dengan klub panjat tebingnya, entahlah. Bagi Kak Dean, rumah cuma tempatnya singgah sebentar. Makan, minum, tidur, mandi, dan buang air. Selebihnya, dunia Kak Dean di luar sana.

Deano Raamah Aryasuta. Kakak pertamaku. Kakak yang selalu ada saat aku butuh, bukan berarti Mas Enno—kakak keduaku— tidak cepat tanggap seperi Kak Dean. Hanya saja, Kak Dean lebih, umm ... perhatian.

"Dedek, Dean mana?"

Nah, itu Mas Enno. Kembar fraternal Kak Dean.

"Ke atas, Mas. Baru pulang dari kampus kali," jawabku, kelewat cepat.

"Kamu kenapa, Dek?"

"Kenapa apanya?"

"Ya, kamu. Kenapa?" Mas Enno kini menjatuhkan pantatnya dan duduk di sebelahku.

Aku mendengus. "Ish, orang nggak ada apa-apa juga."

Di samping kananku, Mas Enno menghela napas berat. Punggungnya ia sandarkan, tangannya telentang seakan merangkulku, kepalanya menengadah ke atas, matanya menerawang. "Kamu mau curhat?" kata Mas Enno, tanpa menoleh.

Aku menelisik wajah Mas Enno dari dekat. Mas Enno tampak lebih kalem. Sorot matanya berkawan, sayu tapi tegas secara bersamaan. Berbeda dengan Kak Dean yang tatapannya tajam, seakan mengintimidasi lawan bicaranya.

"Curhat apa?" Aku mengikuti gerakan Mas Enno. Menjatuhkan punggung ke sofa.

"Ya, apa gitu. Sekolah?" tanyanya, masih enggan untuk menoleh.

Aku menggeleng sebagai jawaban.

Kulit Mas Enno putih bersih. Berbeda dengan Kak Dean yang berkulit sawo matang seperti terbakar matahari. Ya, asal kalian tahu, Mas Enno anak rumahan, Kak Dean anak jalanan.

UPAKYANA #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang