[ t j a n t i e k ]
Aku menyesap aroma kopi favoritku. Malam minggu begini, biasanya aku pergi keluar rumah. Tetapi, sahabat baikku—Cantika—berkunjung dan menginap di sini. Aku mau menolak, tapi tak enak. Padahal aku ada kencan dengan Jono."Ara."
"Apa?" Aku membalas sembari mengaduk kopi arabika di hadapanku.
Cantika menatapku lamat-lamat lalu berkata, "Kamu cantik."
Sudut bibirku tertarik ke atas mendengar pujian Cantika. "Kamu juga."
Gadis berkacamata dengan frame bulat besar menggeleng, membuat rambut pendek sebahunya melambai. "Bohong."
Ya, aku memang berbohong. "Enggak. Kamu cantik, Tika."
Cantika terkekeh mendengar dustaku. Gadis itu menuju meja rias. Matanya nyalang menatap cermin, menilisik setiap detail tubuh mulai dari ujung rambut sampai kuku kaki. Ini serius, dia betul-betul memeriksa semuanya.
"Tamara," katanya.
"Hm?"
"Ra."
"Apa, Tik?" Aku memutar bola mata.
"Aku cantik?"
Pertanyaan retoris darinya membuatku menahan tawa. Ya pasti jawabannya enggak, lah! "Cantik. Namamu Cantika. Jadi, kamu cantik."
Senyum malu-malu terbit di wajah bundar Cantika. Aku merasa berdosa telah membohonginya. Aku harus meluruskan ini. Tolong aku, Dewa.
"Tika. Kamu nggak cantik-" Aku menunggu responnya. Setelah tidak ada tanda-tanda tangisan pecah atau semacamnya aku melanjutkan, "-tapi, otak kamu cantik."
Selain mudah dibohongi, Cantika Serafina adalah makhluk sensitif, lebih sensitif dari pantat bayi. Dia menangis setelah mendengar kejujuranku. Hei, aku serius kalau otak dia cantik.
"Bukan gitu maksudnya, Tika. Kamu itu pintar, siapa yang peduli soal cantik nggak cantik, sih?" ralatku.
Bukannya mereda, tangisan Cantika semakin menjadi-jadi. Macam balita yang jatuh karena lari.
Aku memutar otak mencari kata yang tepat untuk menenangkan sahabatku itu. Cantika sendiri sudah duduk di depan meja rias. Tangan kananku meraih bahunya yang berguncang kecil, meremas pelan, dan menepuk tiga kali.
"Aku nggak cantik, ya?" katanya di sela isak tangis sambil menoleh ke arahku. Matanya yang merah membuatku tak tega.
"Enggak," jawabku. Aku bosan jujur. Karena itu, tadi aku berbohong. Masalahnya, setiap melihat cermin, ia selalu bilang aku cantik dan bertanya apakah dia juga cantik. Kesal tidak jadi aku? Kalau aku sih, iya.
"Kamu nggak cantik. Kamu itu cantik sekali. Gini ya, Tika. Lihat deh. Wajah mungkin nggak cantik, tapi hati kamu cantik. Otak kamu cantik. Sifatmu cantik. Nggak harus wajah cantik buat bilang orang cantik. Itu menurutku, Cantika."
Sukses! Gadis di samping kiriku tersenyum dan mengusap pipinya. "Banyak kata cantik."
"Soalnya kamu cantik!" Aku meringis.
"Coba ya semua orang kayak kamu, Ra."
Aku mengulum senyum. "Kalau realita sesuai ekspetasi kita bakal nggak ada usaha dong, Tik."
"Ngomong apa, sih? Nggak jelas kamu, Ra."
"Aku tahu, Tik." Setelah itu aku dan Cantika tertawa.
"Kenapa ada orang cantik sama enggak, Ra?" tanya Cantika.
"Nggak tahu." Aku menggeleng. "Ngeri kali kalau semua orang kembar."
"Aku harus gimana biar cantik?"
"Merawat diri aja, Tik. Mandi dua kali sehari, cuci muka, gosok gigi, jangan lupa makan."
Cantika tertawa lagi.
Samar-samar aku mendengar suara lagu.
Kamu cantik
Meski tanpa bedakAku menoleh, begitu juga Cantika. Jono—gebetanku—berdiri di ambang pintu dan tersenyum manis madu ke arahku. Atau ke arah gadis di sampingku?
"Kamu cantik," katanya. Entah kepada siapa.
•••
Catatan Penulis:
Sebenarnya aku lagi buntu ide. Tapi, mau nulis. Jadilah cerita kurang dari 500 kata ini. Mungkin akan ku unpublish kalau memang jelek sekali. Dan akan ku revisi kalau masih bisa tertolong. HAHAHA.
Sudah kubilang aku suka ending gantung? Ya, selamat baca aja. Bhay. Muah.
4 Agustus 2016
![](https://img.wattpad.com/cover/78504866-288-k617700.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UPAKYANA #1
Short StoryKumpulan cerita pendek tentang cerita panjang. Berisi cerita dengan genre fiksi, non fiksi, dan semacamnya. Copyright © 2016 by calladaiva