Bab 3. Kesatria Aeterra

4.3K 411 115
                                    

Kelopak mata itu berkedut beberapa kali, sebelum sepasang iris emas mulai tampak dari baliknya. Dahinya mengernyit, ia menegakkan kepala dan terheran-heran. Tidak biasanya ia terbangun dan mendapati dirinya diselimuti kegelapan.

Api abadi selalu membuat kamarnya secerah siang, jadi ini jelas bukan kamarnya. Butuh beberapa detik untuknya mencerna keadaan. Dan yang pertama ia sadari adalah sekujur tubuhnya yang terasa panas. Pergelangan tangan dan kakinya amat perih dan berat, ia lantas menyadari besi-besi karatan yang biasa manusia sebut rantai telah mengikatnya pada sebuah dinding batu ketika kedua bola matanya membaca situasi.

Matanya yang bersinar emas dalam gelap kembali bergerak dengan cepat ke kanan, kiri, atas, dan bawah. Namun ia hanya melihat dinding batu berlumut dengan lubang kotak kecil menyerupai jendela di pojok kiri atas ruangan. Sebuah pintu berlapis besi berdiri menjulang di hadapannya.

Ia sipitkan mata, lantas tertawa ketika mengingat kembali kejadian apa yang membuatnya harus terdampar di tempat busuk ini.

Ah, manusia. Bagaimana ia bisa sebegitu ceroboh sampai tertangkap oleh para manusia?

Sekarang, lihatlah keadaannya. Ia begitu menyedihkan. Dan tentu saja menyedihkan adalah kata yang tidak pantas menggambarkan dirinya.

Tubuhnya yang berkulit putih pucat penuh dengan lebam, darah pekat menetes di beberapa bagian. Ia merasa begitu kotor dan lengket. Rambut yang awalnya dikepang sampai sebatas panggul kini tergerai, kusut dan berantakan. Helaiannya bahkan banyak yang berserakan di sekitar.

Namun yang paling membuatnya geram adalah apa yang ia pakai sekarang. Kain tipis pendek dengan lubang dan tambalan di sana-sini yang melapisi tubuhnya kini bahkan sama sekali tidak layak untuk disebut pakaian.

Ia merasa dilecehkan, tidak ada satu orang pun yang boleh merasa berhak untuk menghinanya dengan membuatnya terlihat seperti ini.

Telinganya yang runcing mendadak menangkap sesuatu. Langkah kaki yang mendekat. Tiga orang—tidak, empat orang. Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu besinya, ia dapat mendengar percakapan singkat yang terjadi di balik pintu itu. Segera setelah percakapan tersebut selesai, pintu besi di hadapannya terbuka.

Remang cahaya obor menyeruak begitu pintu besi terbuka sepenuhnya, yang pertama dia lihat ketika mendongak adalah wajah terkejut dengan mata terbeliak kaget milik seseorang yang tak asing. Sosok itu terpaku di tempatnya, tak bergerak. Seakan waktu sedang dijeda dari hidupnya.

Ada seorang pemuda berdiri di belakangnya, dan kedua manusia tersebut tampak serupa ketika bersebelahan. Ia ingat pemuda itulah yang menghambat perjalanannya untuk kembali ke Aeterra.

Bibirnya yang pucat perlahan menyeringai, iris keemasannya menatap manusia yang paling tua dengan pandangan meremehkan. "Salam, Valda," sapanya pelan.

Raja Valda yang sedang berdiri di ambang pintu mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua, melambangkan daerah kekuasannya atas lautan dan samudra. Matanya yang semula terbelalak ia normalkan kembali, tubuhnya ditegakkan dan dagunya terangkat menampakkan citra seorang raja, yang bagi Aretha malah lebih terlihat menunjukkan keangkuhan.

Sang raja terkejut mendapati gadis itu, Aretha, sudah kembali dari ketidaksadarannya, membuatnya waswas akan banyak kemungkinan terburuk. Gadis itu seharusnya tetap tidak sadarkan diri untuk beberapa hari ke depan, dengan begitu dia akan merasa jauh lebih tenang.

Sementara Elden memerhatikan dari tempatnya berdiri, menatap bergantian kedua makhluk yang ternyata saling mengenal itu.

"Atau harus kupanggil ... Raja Valda Divina Hadria?" tanya Aretha sinis.

Rahang Raja Valda mengeras, tatapannya berubah murka, namun ia menahan dirinya dengan wibawa seorang raja. Aretha tak kunjung melepas pandangan tajamnya dari Raja Valda, menelaah manusia itu dengan saksama.

The Soul of the Moon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang