Bab 7. Pelanggar

2.5K 295 66
                                    

Bawah tanah tidak pernah menjadi tempat yang Azra sukai, meski nyatanya memang tidak banyak yang ia suka. Dan berada di ruang bawah tanah, menunggui majikannya yang tengah disekap secara hormat di Kamar Hukuman, jelas menduduki posisi terakhir dalam daftar apa yang ingin dilakukannya untuk menghabiskan malam.

Kamar Hukuman sejatinya merupakan ruangan kosong berdinding cermin. Bentuk ruangan tersebut bundar sempurna, dengan parit kecil yang memutari lantai di sepanjang dinding. Kau akan melihat pantulan dirimu ke arah mana pun kau menatap, dan ketenangan air bisa menjernihkan pikiran. Hal ini membuatmu dapat bercermin diri dengan kepala dingin. Sebab itulah ruangan tersebut dinamakan Kamar Hukuman; membantumu menyadari kesalahan.

Napas Azra terhela, geming seakan telah menjadi identitasnya. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik diam yang tenang itu, selalu terselip berbagai hal yang orang lain mungkin tak sempat terpikirkan. Terputar kembali apa yang terjadi beberapa menit lalu dalam benaknya, ia tidak menyangka akan berdiri di tengah masalah keluarga kerajaan Aeterra.

Beberapa jam setelah Azra mengantar Aretha ke Kamar Hukuman, Raja Arbura dan kedua saudara kembar Aretha datang mengunjungi sang putri. Amoreta menunjukkan wajah yang terlihat nyaris akan menangis, gadis itu memeluk Aretha dengan erat, sama sekali mengabaikan kenyataan bahwa Aretha berusaha lepas dari rangkulannya. Setelah rangkaian kalimat menyemangati yang ditanggapi Aretha dengan kernyitan risih—Amoreta mengatakan kalimat-kalimat tersebut sembari menggenggam tangan Aretha yang tampak berusaha keras melepaskannya, putri kedua Aeterra itu pergi lebih dulu dari Kamar Hukuman.

Sementara Raja Arbura tampak sangat marah, ia memberi berbagai nasihat kepada putrinya dan berulang kali mempertanyakan keberadaan sebuah benda yang ia asumsikan telah hilang. Aretha tidak diam, gadis itu menjawab setiap teguran dan membuat sang raja semakin murka. Puncaknya, tamparan keras mendarat di pipi sang putri. Azra dan Arata memalingkan wajah ketika ini terjadi. Menilik dari raut syok yang ditunjukkan Arata dan Aretha, Azra yakin ini kali pertama sang raja menggunakan kekerasan fisik pada putrinya.

Usai mengatakan sesuatu tentang Tanda Dosa dan kekecewaannya, Raja Arbura meninggalkan Kamar Hukuman dan meminta Azra menjaga agar Aretha tak melarikan diri dari sana.

Namun, Arata masih diam, menatap Aretha dengan begitu sedih, lantas bertanya, "Mengapa kau melakukannya? Mengapa kau mengambil alih tantangan Pangeran Loid?"

Aretha menunduk, enggan menjawab. Azra tidak dapat lagi menggambarkan raut wajah Arata. Ia juga tidak mencoba mengendalikan ketenangan sang pangeran untuk meredakan gejolak dalam diri kedua saudara tersebut, tahu bukan haknya untuk mencampuri.

"Kau tidak harus mempermalukan dirimu hanya karena tahu aku tidak pandai menggunakan pedang," kata Arata ketika ia berdiri di ambang pintu untuk menyusul sang raja. "Aku tidak mengharapkan saudariku menjadi seorang Pelanggar."

Azra bersandar pada tembok di belakangnya. Ia menjadi sangat penasaran, bagaimana sebenarnya diri Aretha? Gadis itu rela dipermalukan dan melanggar aturan demi saudaranya, tetapi di sisi lain, ia juga tidak disukai rakyat Aeterra dan menjadi incaran pembunuhan para Jagros.

Suara debum sesuatu yang jatuh membuat Azra kembali berdiri tegap, ia mengetuk pintu Kamar Hukuman tiga kali, yakin sumbernya berasal dari dalam. "Tuan Putri?"

Tidak ada sahutan. Azra mengetuk pintu sekali lagi. Alih-alih ucapan ketus sang putri, ia malah mendengar rintih kesakitan yang ditahan.

"Jangan masuk!" Titah telak itu tak ayal membuat Azra mengurungkan niat untuk mendobrak pintu.

"Tuan Putri, Anda baik-baik saja?"

Kali ini jerit tercekat, Aretha dengan sengaja menahan suara. Kontan saja Azra dibuat gemas dan ingin segera merangsek masuk untuk memastikan apa yang terjadi.

The Soul of the Moon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang