"Apa yang Ayahanda Raja minta kaulakukan di pulau Lounis?"
Aretha memutar bola matanya atas pertanyaan sang kakak. Segera setelah pernyataan mengejutkan Raja Arbura dan selesainya pertemuan pribadi di balairung, Arata menemui Aretha di Paviliun Termis, bangunan berbentuk bundar yang hanya disangga pilar dan tanpa dinding.
Paviliun Termis berada di selatan istana, dikelilingi taman-taman bunga dan puluhan air terjun kecil, membuat tempat itu begitu damai dengan suara kicau burung dan gemercik air. Ditambah sayup suara musik dan nyanyian merdu para Elfynn yang selalu terdengar sepanjang waktu.
"Beliau menyuruhku pergi ke sana untuk meminta nasihat para tetua dan mencari seorang kesatria," sahut Aretha dengan nada malas yang kentara. Tangannya membolak-balik halaman buku dalam genggaman. Lupa sampai mana ia telah membaca.
Arata mengempaskan dirinya di samping Aretha dan segera dimanjakan tumpukan bantal empuk yang ia duduki. "Untuk apa?"
"Oh, saudaraku yang tampan, Arata," desah Aretha. "Pergilah mengurus tumpukan petisi yang hampir setinggi semak-semak seledorn dan biarkan aku membaca dengan tenang di sini."
Arata menghela napas, lantas mengambil buku dari genggaman Aretha dan menjauhkannya dari jangkauan sang adik.
"Kau sudah membaca semua buku yang ada di Muian Etermara. Sekarang beritahu aku apa yang Ayahanda Raja inginkan dengan menyuruhmu menjemput kesatria itu di sana," ujar Arata, memelankan suaranya pada kalimat terakhir. Pasalnya, orang yang dia bicarakan sedang berdiri tenang di dekat pilar, memerhatikan mereka dengan saksama.
"Kau sudah mendengarnya sendiri." Aretha menjawab tak kalah pelan. "Ayahanda Raja memberinya tugas untuk mengawalku. Sungguh konyol, seakan aku membutuhkan seseorang untuk melindungiku."
"Tidak, tetapi kau membutuhkan seseorang untuk melindungi orang lain darimu."
Aretha menatap kesal pada sang kakak. Harinya sudah cukup buruk tanpa ditambah pernyataan menjengkelkan. Raja Arbura dengan sangat baiknya memutuskan bahwa; menilik dari semua tingkah tak terduga Aretha dan semua bahaya yang selalu mengancam keselamatan dirinya, ia memerlukan pengawal pribadi untuk melindungi dan membantunya kembali mengikuti aturan yang ada.
Jadilah kesatria bernama Azra Azia itu mengekor ke mana pun ia pergi. Dengan wajah nyaris tanpa emosi, Azra bahkan belum mengatakan apa pun lagi sejak dua kalimat terakhir yang dia ucapkan di balairung.
"Setidaknya kau tidak akan terlalu terganggu dengan kehadirannya," kata Arata. Matanya melirik sekilas pada Azra yang sedang berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun. "Dia lebih mirip patung daripada makhluk hidup. Dan aku sungguh masih tidak percaya Ayahanda Raja menugaskan kesatria legendaris sepertinya untuk mengawalmu. Sekarang aku yakin kau benar-benar putri kesayangan."
Aretha mendengkus mendengar kalimat terakhir saudaranya. "Bukankah karena aku ini begitu merepotkan sampai Ayahanda Raja meminta seorang kesatria untuk membatasi diriku?"
Arata terkekeh, mengacak pelan puncak kepala Aretha. "Bersyukurlah, kau bisa dikawal oleh orang yang pernah berjasa besar bagi Nalkava."
Aretha bergumam malas, lantas mengambil kembali bukunya dan mulai membaca.
"Kau belum memberitahuku, jalur mana yang kaulewati sampai aku tidak dapat melihat keberadaanmu?"
Seluruh perhatian Aretha terfokus pada deretan kata hingga ia tak menggubris pertanyaan saudaranya.
"Aretha!" Arata mendesis menahan geram, membuat Aretha menghela napas dan menutup bukunya.
"Latih lagi kemampuanmu melihat masa kini dan jangan pertanyakan keterbatasan Berkah Malkamu itu kepadaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Soul of the Moon [ON HOLD]
FantasiSebuah hukum yang mengikat dua bangsa telah menyelamatkan kerajaan terakhir manusia, Arterra, untuk tetap berkuasa. Beratus tahun setelahnya, kedua bangsa hidup berdampingan. Yang satu tahu akan keberadaan yang lain, sementara yang lain telah melupa...