Para prajurit Aeterra sedang menikmati penjamuan, sementara Amoreta tampak berbincang dengan beberapa bangsawan kota Nerwul yang sebaya dengannya di dekat pintu selasar, ketika Arata membawa kelima pemburu menyelinap keluar dari aula penyambutan. Ia pernah beberapa kali mengunjungi kediaman Laird Leroy sehingga tidak cukup kesulitan menemukan tempat yang dirasanya cocok untuk berbincang.
Di taman luas tempat pohon-pohon tumbuh dengan daun yang menaungi mereka serupa kanopi, tersamar dari mata dan telinga yang ingin tahu, dan cukup sepi sebab memang jarang dilewati pada jam-jam sibuk, Arata berhenti, lantas berbalik menghadap kelima pemburu.
"Kuharap kalian tidak begitu terganggu dengan tempat yang kupilih," katanya, "sebab aku yakin apa yang ingin kalian sampaikan harus terjaga dari telinga yang tidak berhak."
"Tidak, Yang Mulia, kami tidak keberatan sama sekali." Salah satu pemburu menjawab demikian.
Kemudian pemburu di sebelahnya, yang memiliki codet panjang di leher dan bekas luka terbanyak yang masih tampak sangat baru memohon izin untuk bicara. "Perkenalkan, Yang Mulia. Jikalau hal ini pantas kami lakukan, namaku Striden, pemimpin dari kelompok pemburu ini."
"Tentu, Tuan Striden. Kurasa kalian sudah tahu namaku dan aku merasa cukup dengan basa-basi ini sebab aku masih memiliki masalah lain yang harus kuurus. Katakanlah, apa yang sekiranya hendak kalian sampaikan kepadaku?"
Dengan itu, Striden pun mulai bicara.
•••
Ada masa ketika Elden merasa terjebak dalam keberuntungan dan kesialan di waktu bersamaan. Ia tidak yakin harus bersyukur atau mengumpat. Dan barangkali, itulah yang tengah dialaminya kini.
Elden senang dapat kembali melihat Aretha. Gadis itu terlihat sehat dan semakin memesona, dengan rambut yang dikepang dan gaun indah khas bangsawan berkedudukan tinggi-amat kontras dengan penampilannya terakhir kali. Akan tetapi, melihat kemurkaan yang tersirat dari gelagatnya, Elden berpikir ia perlu bersikap waswas.
Dua pasang iris emas menatapnya tajam. Elden geming, napasnya dihela perlahan, setiap tarikan membawa beban yang menambah berat pada perasaannya.
"Kita berjumpa lagi, Tuan Putri."
Sebuah kesalahan sepertinya, sebab amarah yang tampak pada raut jelita itu menjadi kian kentara. Bahkan dari jarak sejauh ini, Elden nyaris dapat melihat api yang menyulut di sepasang iris emasnya.
"Bagaimana," suara jernih itu masih terdengar sama; sarat akan keanggunan dan mengalun amat indah, "kau bisa merasa berani menginjakkan kakimu ke tempat ini?"
Turun dari kudanya, Elden berjalan pelan untuk menipiskan jarak dengan Aretha. Ia melihat unicorn yang Aretha tunggangi melintasi wilayah kerajaan Arterra meringkik gelisah, berputar-putar dalam lingkaran kecil sebelum berderap masuk ditelan baris pepohonan di belakang Aretha.
"Berhenti di sana, Manusia."
Jaraknya terpaut sepuluh meter ketika Elden refleks berhenti. Perintah bernada tegas dari Elfynn pria di belakang Aretha tak kuasa diabaikannya. Mutlak dan mengikat. Elden mendadak merasa kacau untuk alasan yang bahkan tidak ia pahami.
Azra menarik langkah ke hadapan Aretha. Tangan kanan sudah menggenggam erat gagang pedang, siap membebaskannya dari sarung jika si pemuda manusia membuat telatah berbahaya.
"Pangeran Elden Alfaren Hadria dari Arterra."
Panggilan sang putri menghasilkan jengitan di kening Azra. Ia lantas memerhatikan manusia itu dengan saksama. Kulit bak emas terpapar matahari, rambut cokelat gelap dengan iris sewarna samudra, berikut balutan zirah mengilat yang tampak mewah. Sebuah pedang panjang dalam sarung perak, dan jubah biru di belakang punggung. Seluruh bagian dirinya seakan meneriakkan kata bangsawan dengan angkuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Soul of the Moon [ON HOLD]
FantasySebuah hukum yang mengikat dua bangsa telah menyelamatkan kerajaan terakhir manusia, Arterra, untuk tetap berkuasa. Beratus tahun setelahnya, kedua bangsa hidup berdampingan. Yang satu tahu akan keberadaan yang lain, sementara yang lain telah melupa...