Part 1

384 9 5
                                    

Langit masih terlihat gelap. Angin di luar berhembus lebih kencang dari biasanya. Ranting-ranting pohon menari-nari mengikuti perputaran angin. Awan hitam nampak berkumpul seolah telah siap menurunkan hujan. Dalam hitungan detik, hujan pun turun membasahi bumi. Daun-daun pun langsung basah terkena derasnya hujan. Dinginnya malam itu terasa hingga menusuk tulang. Zifa bangkit dari sajadahnya untuk menutup tirai jendela. Ia masih mengenakan mukena ketika dengan merdunya ia lantunkan ayat suci Al-Quran. Tanda disadarinya ia sudah tiga jam tidak tidur. Saat adzan subuh berkumandang, Zifa baru menghentikan bacaannya. Ia letakkan Al-Quran di tepi tempat tidurnya, kemudian ia khusyuk menghadap panggilan Ilahi.

Aroma masakan sudah tercium kelezatannya ketika Annisa sedang menghafal Al-Quran di ruang tamu. Ia segera ke ruang makan setelah yakin jika Umi sedang memasak sarapan pagi kesukaannya hari ini.

"Sarapan kita hari ini nasi goreng ya, Mi?"

Umi tersenyum, "iya, tolong kamu panggil Mbak Zifa ya, kita sarapan bareng."

Annisa mengetuk pintu kamar Zifa. "Mbak Zifa, kita sarapan yuk!" Ia mengetuknya sekali lagi namun tetap tidak ada jawaban. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Dan ketika ia memutar tubuhnya, Zifa sudah berdiri di hadapannya.

"Mbak Zifa darimana? Pantas saja dari tadi aku panggil, tidak ada jawaban."

Zifa membuka pintu kamarnya, Annisa masih berdiri di ambang pintu. "Mbak baru saja dari masjid. Memangnya ada apa, Nis?"

"Umi meminta kita untuk sarapan bareng."

Zifa tersenyum, "yuk, kita sarapan!" Ia rangkul adik semata wayangnya itu menuju ruang makan.

"Umi senang sekali kalau kita sedang berkumpul seperti ini. Rumah rasanya nggak sepi lagi."

"Tapi, selama Mbak Zifa di Kairo kan Annisa juga sering kesini buat jenguk Abi sama Umi. Apa selama ini Umi masih merasa kesepian?"

Zifa menggenggam jemari tangan adiknya sambil tersenyum.

Umi memberikan sepiring nasi goreng kepada Annisa seraya berkata, "Nis, bukannya Umi merasa kesepian ketika ada kamu. Tapi Umi hanya merasa kalau Mbakmu itu sedang berada disini, keluarga Umi terasa utuh."

"Bahkan mungkin keluarga kita akan lebih ramai lagi kalau Zifa segera mengenalkan seseorang yang akan menjadi keluarga baru kita," seloroh Abi menambahkan.

"Apa maksud, Abi?" Annisa tak mengerti. Zifa terlihat bingung dengan perkataan Abinya, namun Abi hanya tersenyum renyah. Kalimat Abi tersebut seolah menjadi teguran halus yang ditujukan padanya.

Zifa memang baru saja tiba di Indonesia setelah menyelesaikan studi sarjananya di Universitas Al-Azhar Kairo. Suatu kebanggaan bagi keluarga kecil itu saat nama Zifa tercantum menjadi salah satu calon mahasiswi universitas tertua itu. Setelah bertahun-tahun lamanya Zifa tidak pulang ke Indonesia, kini ketika ia tiba di kota kelahirannya Yogyakarta, seluruh keluarga menyambut kedatangannya. Bahkan seluruh santri di pondok pesantren milik Abinya juga turut senang dengan kedatangan Zifa kembali. Memang sejak kecil, Zifa dan adiknya hidup dalam ruang lingkup keluarga islami. Abinya memiliki pondok pesantren yang didirikan di sekitar rumahnya. Melalui pondok pesantren itulah Abinya mulai menyebarkan ajaran agama islam. Dan bahkan terkadang Abinya sering mendapat undangan ceramah atau kunjungan ke pesantren lainnya. Seluruh para santrinya diwajibkan belajar menghafal Al-Quran. Kedua putri Abi pun ikut mendapatkan pendidikan dari pesantren. Setelah lulus MA, Zifa mencoba mengikuti ujian penerimaan mahasiswi Al-Azhar. Dan setelah menunggu kurang lebih tiga minggu, Zifa dinyatakan diterima di universitas islam itu. Dengan kemampuan berbahasa arab yang ia miliki, meski belum terlalu lancar, tapi itu cukup menjadi bekalnya untuk hidup di Kairo. Kini setelah ia menyelesaikan studinya, ia kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada negerinya sendiri. Ia akan mengamalkan ilmu yang ia dapatkan dari masa kuliahnya dulu.

Malioboro Ana UhibbuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang