Part 10

51 5 1
                                    

Pukul 09:05. Zifa menyeruput air the yang tadi pagi dibuatnya sendiri. Langkahnya menuju masjid untuk menunaikan ibadah sunnah shalat dhuha. Suasana masjid cukup sepi karena ini memang jam sibuk dimana para santri sedang belajar di kelas. Setelah wajahnya basah terkena wudhu, Zifa mantap melangkahkah kakinya menginjak karpet hijau bergambar masjid itu. Ia memakai mukena dan berdiri tegak untuk selanjutnya gerakan pertama takbiratul ihram dia lakukan. Zifa khusyuk menghadap diri pada Sang Ilahi. Bibirnya lembut mengucapkan lantunan ayat suci Al-Quran. Pandangannya tertuju pada sajadah yang menjadi tempatnya menghadap Allah. Hatinya seolah terbawa menyesapi makna yang tak tersirat.

Diam-diam ada yang memerhatikannya dari balik jendela kaca. Zaky berdiri disana sambil memerhatikan Zifa yang masih khusyuk menghadap Tuhannya. Zaky bukannya tidak ingin shalat, tapi hatinya masih terasa beku. Kakinya seolah enggan diajak membasuh air wudhu. Hatinya seolah belum tergerak saat melihat Zifa dengan tenang melantukan ayat suciNya. Sungguh, hatinya memang bergetar saat berada dekat dengan gadis sholehah itu. Namun entah mengapa hatinya masih belum bisa tersentuh saat melihat Al-Quran. Pikirannya sudah tercuci selama ia tinggal di Jakarta. Masa kuliahnya ia merasakan kebebasan yang tiada tara. Ia bahkan bebas bergaul dengan siapa saja, menyentuh siapa saja dan tidak ada yang cerewet mengingatkannya untuk melaksanakan shalat. Hidup Zaky terlalu bebas di Jakarta hingga Papanya Ustadz Hasan kembali menyuruhnya pulang setelah ia diwisuda menjadi seorang sarjana manajemen. Hidup Zaky sudah terlampau enak, sejak kecil sebagai anak tunggal ia selalu dimanjakan dengan fasilitas barang mewah. Papanya yang juga seorang sarjana manajemen, kemudian melanjutkan pendidikan S2 dengan jurusan agama. Zaky tidak peduli jika ia dianggap sebagai anak Ustadz yang tak tahu diri, karena baginya, ia bahagia menjalani hidupnya saat ini. Hingga Zifa mengucap salam, Zaky masih berdiri kaku di teras masjid. Bukannya ke tempat wudhu, ia justru pergi menjauh meninggalkan masjid. Bukannya Zifa tidak menyadari kehadiran seseorang yang sedari tadi memerhatikannya selama shalat, tapi Zifa tidak tahu siapa sosok yang sedari tadi menjadi penontonnya selama ia menghadap diri pada Sang Ilahi. Siapapun dia, Zifa hanya berharap semoga dia diberikan hidayah oleh Allah. Secepatnya atau tidak sama sekali.

Bel sudah berdering dua kali. Itu tandanya para santri harus kembali masuk kelas setelah empat puluh menit mereka beristirahat. Santri disini melakukan aktivitasnya meliputi berbagai bidang, mereka tidak hanya mengaji dan belajar kitab-kitab tebal. Tapi mereka juga diberi kebebasan untuk memilih ekskul apa yang dijadikan kegiatan positif saat waktu luang menghampiri mereka. Mereka juga diberikan izin untuk keluar pesantren pada jam-jam tertentu dan tentunya harus melalui izin pengurus keamanan pesantren.

"Ustadz sudah tahu kedatangan Zaky disini?" tanya Zifa saat ia sedang berjalan bersama Ustadz Halqi di koridor pesantren. Ustadz Halqi mengangguk pelan. Dagunya terlihat basah, nampaknya ia usai melaksanakan shalat sunnah. Allah telah menciptakannya dengan bentuk yang nyaris kesempurnaan, Zifa tak memungkiri itu.

"Bagaimana perkembangan Zaky disini, Ustadz?"

"Dia masih butuh banyak sekali pembelajaran disini. Sikapnya masih belum berubah. Gaya metropolitan yang dibawanya hingga kesini membuat beberapa santri nyaris terpengaruh sikapnya."

"Tapi Insya Allah saya yakin santri disini tidak terbawa arus nakal yang dibawa oleh Zaky. Dia hany belum bisa beradaptasi di lingkungan ini, Ustadz. Insya Allah dia bisa menjadi yang lebih baik lagi."

"Sepertinya kamu paham sekali tentang dia." Ustadz Halqi kini menatap Zifa dengan tatapan berbeda.

"Maksud, Ustadz apa?"Zifa memandangnya bingung.

"Saya bisa melihat keakraban kalian semenjak dia disini. Apalagi dia seringkali menerobos batas wilayah santri putri demi bisa melihat kamu. Sepertinya..."

"Dia memang masih nakal, Ustadz. Wajar saja, karena selama ini kan dia terbiasa bergaul dengan perempuan manapun." Zifa tersenyum tipis. Berusaha menutupi kegugupannya.

"Kamu nggak perlu menutupi faktanya dari saya, Zifa. Saya sudah tahu cerita awal kalian ketemu dari Imran." Ustadz Halqi menatap dengan tatapan yang tenang dan meneduhkan, tak terlihat kecemburuan dalam sinar matanya. Zifa tetap memilih diam.

"Sepertinya dia menyukaimu, Fa." Zifa terhenyak mendengar pernyataan barusan. "Tapi ada yang saya ingin tanyakan sama kamu. Ini tentang jawaban dari maksud Ibuku datang ke rumahmu malam itu." Ustadz Halqi menghentikan langkahnya di depan ruang karya seni. Langkah Zifa ikut terhenti. Pandangannya masih lurus, ia tak ingin menatap Ustadz Halqi. Ia takut menatap matanya yang tenang dan meneduhkan itu. "Maaf kalau saya terlalu memaksamu. Tapi saya butuh jawaban itu sekarang, apapun jawabanmu saya akan terima." Ustadz Halqi kembali menagihnya. Namun senyumnya tak memudar dari wajahnya.

Zifa berusaha tersenyum untuk menenangkan hatinya yang mendadak gelisah. "Maaf sebelumnya Ustadz, seperti yang Ustadz katakan beberapa hari yang lalu saat kita ngobrol di taman. Kita sudah cukup akrab sejak saya SMP. Dan saya merasa senang karena bisa memiliki teman seperti Ustadz. Sejak saat itu, saya berharap Ustadz bisa menjadi kakak laki-laki yang baik untuk saya. Jadi maafkan saya kalau hingga kini, saya masih menganggap Ustadz sebagai kakak laki-laki yang bisa kapan saja menjadi tempat saya berbagi cerita." Zifa mengulum senyum lebar. Senyumnya tulus dari hatinya, jauh disana hatinya bergumam kecil. Semoga Ustadz Halqi tak tersinggung.

"Saya bisa ngerti kok. Saya justru senang kalau kamu menganggap saya sebagai kakak kamu. Karena nantinya itu akan menjadi hubungan yang lebih baik. Terima kasih karena kamu sudah mau jujur. Sekarang saya jadi merasa lebih lega." Senyumya kembali terlukis. Zifa berani menatap mata teduh itu lagi. Tak ada sinar cinta disana, ia hanya melihat pancaran kasih sayang tulus yang datang dari hatinya.

"Ustadz, apa masih ingat sama teman saya, Laila?" tanya Zifa tiba-tiba.

"Iya, saya masih mengingatnya. Tidak mungkin saya melupakan dia. Dia adalah satu-satunya perempuan yang paling jago bermain basket di antara kita bertiga, iya kan?" Ustadz Halqi menyeringai tawa. Kini wajahnya berbalut tawa ringan, terlihat cerah dan menyenangkan. "Apa dia sudah menikah sekarang?"

Zifa menggeleng pelan. "Semenjak laki-laki yang dicintainya pergi beberapa tahun yang lalu demi melanjutkan kuliah. Kini hatinya seolah mati rasa. Ia sulit membangun kembali hatinya untuk menemukan laki-laki lain. Jujur rasanya saya ingin sekali mempertemukan mereka lagi."

Ustadz Halqi mengernyitkan dahi. "Oya? Jadi dia sampai sekarang belum menikah karena laki-laki itu belum kembali?"

"Laki-laki itu memang sudah kembali, tapi sepertinya laki-laki itu tidak peka terhadap perasaannya." Ustadz Halqi terlihat semakin penasaran. Zifa menghela nafas panjang. Nampaknya ia harus menceritakan yang sebenarnya kepada Ustadz Halqi. Maafkan aku, Laila.

"Siapa laki-laki itu?" tanyanya lirih.

Zifa menelan ludah. Dalam satu tarikan nafas, dan.. "Laki-laki itu bernama Muhammad Halqi Faturrahman."

Ustadz Halqi tersentak kaget. Mimiknya wajahnya mendadak berubah. Sorot matanya tak lagi menunjukkan kedamaian. Pancaran sinarnya menunjukkan rasa syoknya. Mungkin pernyataan Zifa sudah membuat Ustadz Halqi merasa terkejut, tapi itulah faktanya. Fakta yang tak bisa disembunyikan terlalu lama lagi. "Itulah kenyataannya, Ustadz. Mungkin ini sedikit mengagetkan, tapi saya rasa Ustadz perlu mengetahui hal ini. Karena Laila tidak pernah berniat untuk mengungkapkannya sendiri, jadi saya yang mewakili dia untuk mengatakannya."

"Astaghfirullah.. Selama itukah Laila menyimpannya sendirian? Kenapa dia tidak pernah mengatakannya." Suara Ustadz Halqi semakin pelan. Nadanya menunjukkan rasa bersalah.

"Maaf, Ustadz. Laila tidak pernah berani mengatakannya. Karena dia merasa kalau dia bukan perempuan sholehah seperti yang Ustadz inginkan." Zifa menundukkan kepalanya. Ia tak berani melihat ekspresi wajah Ustadz Halqi yang kini berubah drastis. Raut wajahnya tak lagi menunjukkan keceriaan. Pandangannya seolah tampak penyesalan disana. Entahlah, atau mungkin ini kesalahan Zifa yang berbicara atau karena memang Ustadz Halqi akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak peka selama ini terhadap Laila.

^^^

Malioboro Ana UhibbuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang