Part 6

64 5 0
                                    

Sudah dua hari Zifa bekerja di sebuah home industry penerbitan buku-buku islami. Pekerjaannya ringan, tak menguras tenaganya. Bahkan ba'da ashar ia bisa langsung pulang dan langsung mampir ke pesantren untuk membimbing para santri yang ingin menghafal Al-Quran. Ia masih menyempatkan waktunya untuk bercengkerama riang bersama para santri lainnya, termasuk Ika. Gadis kecil itu kini tumbuh menjadi anak perempuan yang manis dan sholehah. Hafalan surat-suratnya pun lancar. Ia seolah telah tenang berada di pesantren itu, ia mendapatkan teman baru serta pengalaman baru. Suatu keberuntungan baginya karena Zifa mau mengangkatnya menjadi adik asuh. Karena semenjak ia tinggal di pesantren, kehidupan keras dan kejam di luar sana sudah tak lagi ia rasakan. Ia seolah mendapatkan keluarga baru. Selain Zifa, Annisa pun sangat menyayangi Ika. Annisa merasa memiliki adik baru yang bisa ia ajak bercerita. Tak jarang mereka makan serta sholat berbarengan. Sungguh hubungan persaudaraan yang indah.

Arlojinya menunjukkan pukul lima sore. Tanda waktu shalat maghrib semakin dekat. Zifa menyudahi kelas bimbingannya dengan para mahasantri hari itu. Ia ingin segera pulang ke rumah dan beristirahat karena sudah tampak lelah. Saat ia keluar pintu masjid, matanya menangkap sosok orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Laki-laki dengan kulit khas Indonesia dan wajahnya yang asli keturunan Jogja dengan baju koko berwarna biru telur dipadukan dengan celana hitan dan peci hitam dengan list berwarna keemasan, sangat menunjukkan ketampanannya. Langkah Zifa terhenti sebelum berpapasan dengan laki-laki itu, ia ragu untuk meneruskan langkahnya. Entah apa yang ia pikirkan, namun kakinya seolah tak ingin diajak melangkah lebih jauh lagi. Tiba-tiba sebuah panggilan membua Zifa mengalihkan pandangannya pada Ustadz Imran yang datang dari arah dalam masjid.

"Ustadzah Zifa, sedang ada disini? Habis membimbing santri tahfizh, ya?" tanyanya dengan senyum mengembang bagai kue bolu yang baru saja keluar dari oven. Wangi parfum yang sekilas tercium pun mengalahkan aroma lezatnya bolu yang baru matang.

"Iya, Ustadz." Zifa melukiskan senyum lebar. Sekilas, ia dapat melihat dari ekor matanya Ustadz Halqi lewat dan tersenyum menyapa keduanya. Zifa membalas senyuman itu sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Bagaimana dengan pekerjaan barunya, Ustadzah?"

"Alhamdulillah, cukup menyenangkan, Ustadz." Keduanya mengobrol tanpa berani melihat wajah satu sama lain. Entah apa yang terjadi, namun kekikukan itu seringkali terjadi di antara mereka.

"Ustadz sendiri bagaimana, apakah nyaman mengajar disini dengan jumlah santri yang sangat banyak?"

"Insya Allah. Meskipun sedikit susah, tapi bagi saya itulah tantangan mengajar sekaligus menyiarkan agama islam. Saya justru merasa memiliki banyak teman disini."

"Semoga Ustadz bisa betah mengajar disini, karena memang pesantren ini masih membutuhkan banyak pengajar. Apalagi sebentar lagi akan memasuki tahun ajaran baru yang tentunya jumlah santri dan mahasantri semakin meningkat. Kalau begitu, saya pamit duluan, Ustadz. Assalamu'alaikum." Keduanya pun berpisah tepat di depan rumah Pak Kyai. Sementara Ustadz Imran langsung menuju parkiran dan bergegas pulang.

Langit sore pada hari itu seolah menandakan suasana di hati laki-laki muslim yang sedang diterjang perasaan cinta. Warna indah cakrawala seolah mewakili perasaan gembira seorang laki-laki yang bahagia karena bisa dekat kembali dengan sang pujaan hati. Perasaan sesak di dada akibat menahan rasa sayang yang sudah lama mekar di dalam lubuk hati bahkan mendadak tak terasa lagi jika mengingat bahagianya ia karena bisa kembali berjumpa dan menatap cantiknya ciptaan Ilahi yang telah dipertemukan dengannya. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala isi di bumi ini.

^^^

"Ukhti, mbok ya jangan melamun, tho. Nanti kerjaanmu ndak selesai, lho."

Malioboro Ana UhibbuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang