3. Satu Hari Penuh Arti ....

663 8 4
                                    

3. Satu Hari Penuh Arti ....

Aku pulang ke  rumah dengan perasaan tidak tenang. Pikiranku masih pada abang, yang sampai aku pulang tadi masih menunggu, apa penyebab abang seperti ini.  Baju abang yang tadi terkena muntahannya, langsung aku rendam untuk dicuci besok. Tidak mungkin aku mencucinya malam ini, selain sudah malam, aku sudah kecapean sekali.

Tapi mungkin karena saking kecapeannya, begitu aku menyentuh tempat tidur, akupun langsung pulas tertidur. Sempat bangun satu jam kemudian untuk shalat subuh dan tidur lagi.

Pukul 8 aku bangun, dengan kepalaku langsung pada abang. Abang di rumah sakit. Bagaimana keadaan dia sekarang?

Aku langsung menelepon Sandy di rumah sakir.

    “Halo?” Sandy menyahut dari sana.

    “Gimana, San, abang?”

    “Sudah, sudah masuk ke kamar.”

Aku langsung menghela nafas lega, “Alhamdulillah. Jam berapa tadi malam masuk kamarnya?’

   “Hah, malam apaan? Baru tadi masuk kamarnya juga, jam 7 tadi!” 

Aku terkaget, “Hah!? Jam tujuh tadi. Jadi abang di UGD semalaman?”

   “Ya, iyalah!” dengan sewotnya.

Aku tercenung tidak percaya. Gila, lama banget! DI UGD sampe satu malam penuh!? Kebangetan!

   “Terus, sekarang abang gimana?”

   “Ya, udah tidur lagi. .... Put.. ke sini, lah, ini Rei ga ada yang jaga. Diaturlah, siapa yang giliran jaga,” dengan nada memelas. Kedengaran sekali dia kecapean dan butuh pengganti biar dia bisa pulang. 

    “Iya..., iya... aku ntar ke sana. Aku ke kantor bentar, terus ke rumah sakit. Oke?”

    “Iya, cepetan, ya.”

     “Iya.” Dan langsung menutup telepon untuk segera mandi.

Selepas mandi, aku membereskan apa yang kira-kira dibutuhkan abang. Aku ingat-ingat, barang-barang penting yang harus dibawa buat pasien di rumah sakit dan penunggunya. Setelah sering menjaga orang di rumah sakit, dengan segala keperluannya, sepertinya aku tahu apa saja yang urgent.

Aku membawa beberapa baju ganti untuk abang untuk jaga-jaga. Dua buah kaos oblong berukuran besar seukuran abang, aku siapkan. Kemudian  sisir, dan handuk.

Ini membuatku bingung. Apa aku harus ke kantor dulu baru ke rumah sakit, atau langsung ke rumah sakit dulu baru ke kantor? Tapi kalau ke kantor dulu, belum tentu aku bisa ke rumah sakit.

Akhirnya aku putuskan untuk ke rumah sakit dulu sebentar, baru ke kantor. Toh tidak akan lama, hanya mengantarkan kebutuhan abang.

Aku sempat meminta izin dulu ke kantor, dan lega aku mendengar nanti ada orang kantor yang akan datang ke rumah sakit, itu berarti aku bisa ikut ke kantor dari rumah sakit.

            Akupun langsung ke rumah sakit. Tidak sabar ingin melihat keadaan abang. Mudah-mudahan sudah jauh lebih baik dari saat aku tinggalkan semalam.

            Tapi betapa tertegunnya saat aku melihat keadaan abang, sementara Sandy bersorak dengan kedatanganku.

    “Kamu udah datang, aku langsung pulang ya,”

Tapi tak kuhiraukan. Perhatianku hanya pada abang. Abang terlihat sangat lemah dan pucat, dengan sonde yang masih melekat di hidungnya. Sekarang kantung sondenya sudah dipenuhi dengan cairan hitam yang berasal dari dalam tubuh abang. Belum lagi sekarang abang memakai kateter urine yang sudah hampir terisi penuh. Aku tidak tega melihatnya.

Dua Minggu dalam Kedipan Mata - A DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang