4 Jum'at Terakhir.

400 7 3
                                    

4. Jum’at Terakhir.

Sampai di rumah perasaanku antara tenang dan tidak tenang. Tenang dengan ada temannya yang menemani, tapi juga tidak tenang dengan kondisi abang yang serba belum pasti, ditambah abanganya yang akan datang.

Dan kecemasanku terjadi. Sekitar pukul 10 malam aku mendapat laporan dari anak-anak yang menjaga abang di rumah sakit, kalau abangnya yang bernama Irman, sudah datang, dan tetap bersikeras akan membawa abang pulang. Gila aja, apa!? Nggak lihat apa, dia, keadaan abang seperti itu? Mana bisa abang melakukan perjalanan jauh. Nggak mungkin abang dibawa pulang!

Akhirnya kami terpaksa berkonspirasi dengan skenario, abang tidak bisa dibawa pulang tanpa ada izin dari dokter yang menanganinya. Dan dokter baru akan datang besok pagi. Itu berarti abang tidak boleh dibawa pulang malam ini, meski masalah administrasi bisa kita bereskan lebih dulu.

Dengan skenario tersebut, abangnya tidak dapat berbuat apa-apa, selain menurut dan menunggu dokter hingga esok pagi. Sedikit membuatku lega, karena paling tidak masih bisa menahan abang di sini, dan diupayakan kembali untuk bisa menahan abang di sini paling tidak sampai hari minggu menunggu perkembangan kondisi abang. Tidak ada yang tega membiarkan abang dibawa pulang paksa dengan kondisinya masih seperti ini, dan penyakit yang masih misteri. Akupun cukup lega, paling tidak aku masih bisa bertemu abang lagi sampai dibawa pulang.

Pagi harinya aku tidak bisa langsung ke rumah sakit, karena harus ke kantor. Banyak pekerjaanku yang tertunda setelah kemarin aku tidak masuk satu hari.

Tidak melihat abang adalah siksaan buatku. Tidak tahu keadaan abang, ditambah rencana abang akan dibawa pulang hari ini, membuatku semakin tersiksa. Pekerjaanku pun tidak bisa kulakukan dengan benar. Di kepalaku hanya ada abang. Dan saat ada yang akan menengok keadaan abang, tanpa pikir dua kali aku langsung mengajukan diri untuk ikut. Aku harus melihat abang lagi, paling tidak aku tahu keadaannya!

Menjelang shalat Jum’at, aku, Bu Yuni dan Eka pergi ke rumah sakit melihat keadaan abang. Sesampainya kami di sana, ada beberapa temannya di sana, salah satunya Medi, dan keadaan abang masih belum banyak berubah. Masih diam meski sedikit lebih segar dari kemarin terakhir kulihat.  Ada perkembangan baik.

Seperti hal kemarin, aku langsung mengecek abang; mulai infusnya, sondenya, kantung lambungnya, sampai kantung urinnya. Infusnya sudah diganti dengan yang baru. Selang sondenya yang dari lambung sudah bening, dan yang menggembirakan kantung lambungnya sudah tidak berisi darah lagi, tapi cairan bening, itu artinya tidak ada pendarahan lagi di dalam sana. Dan tentu saja, kantung urin abang yang terlihat normal. Abang baik-baik saja. CIHUI!!!

Bersamaan dengan itu, abangnya yang bernama Irman, kembali dari dari makan siangnya dan langsung berhadapan dengan Bu Yuni, sementara aku asyik dengan abang. Aku sempat melap lehernya, dan menaburinya dengan talc agar lehernya tidak lengket, juga menaikkan rambutnya. Gatal rasanya ingin menyisir dan merapikan rambut sunsilknya. Tapi karena takut rontok, akhirnya aku hanya bisa menyisirnya dengan jariku. Ini rambut yang kemarin sempat terkena muntahannya, belum sempat dicuci. ‘Nanti ya, bang, kalau sudah sehat, keramas.’

Dengan teman-temannya, kami sempat bercanda mau membawakan komputer dengan games-games favorit abang seperti Medieval War, Target War, n Football Managaer. Atau membawakan DVD series kesukaan abang, seperti Heroes, Greys Anatomys, Smallville, atau serial favorit kita berdua; Supernatural the one and only Dean and Sam Winchester! Aku bahkan sempet kepikiran untuk mencarikan lagu-lagu heavy metal tahun 80-90-an milik AC/DC atau Deff Lepard yang jadi kesukaan abang akhir-akhir ini gara-gara ketularan Dean Winchester yang demen sama musik begini. Aku juga sih. Lagu favorit kita berdua ‘Cant Fight This Feeling’ milik Red Speed Wagon. Itu juga gara-gara Dean Winchester nyanyiin terus lagu itu. Ah, senangnya kalau abang sudah keluar nanti. Abang masih hutang Supernatural season 4 eps. 5 dan 6 yang belum sempat didownload di kampus. Abang memang harus sehat lagi. 

Sampai hari ketiga di rumah sakit, abang masih memakai baju-bajuku yang aku bawakan dari rumah. Tidak ada yang sempat membawakan baju-baju abang. Tas ransel besarnya dia yang aku bawa dari kantor  hanya berisi; diktat, buku hariannya, kartu-kartu kreditnya, dan satu kantung besar KOPI ACEH yang masih utuh. Sempat aku mencari pisau belati kesayangan abang, tapi tidak kutemukan. Katanya sih, ada.

Melihat abang yang sudah kelihatan normal, dan belum ada kepastian apakah abang mau dibawa pulang hari ini, aku iseng tanya abang:

    “Bang, abang pengen pulang, atau tetep di sini?”

Abang hanya melenguh dan memalingkan kepalanya. Yang mungkin artinya ‘Tau ah, ga bisa mikir nih.’

    “Aku sih, pengen abang di sini...,” lanjutku dengan nyengir penuh harap, biar aku bisa lihat abang tiap hari.

Tapi yah, mana bisa abang jawab. Mungkin ini juga yang membuatnya stress. ‘Orang pengen istirahat, ini harus pergi lagi. Nggak ngerasain apa, kepala gue muter nggak karuan!’ mungkin itu yang ada di kepala abang.

Rasanya tidak puas menemani abang hanya sebentar. Terlebih saat Bu Yuni membunyikan bel waktu berkunjung habis, alias aku harus kembali ke kantor. Berat sekali harus meninggalkan abang. Ada perasaan ini adalah moment-moment terakhir aku bisa melihat abang lagi. Tapi terus aku hilangkan. Nggak, abang nggak akan kemana-mana. Abang tidak akan dibawa pulang, dan besok hari Sabtu, aku bisa seharian nemenin abang di sini. Aku penuh optimistik tidak ingin kehilangan abang secepat ini.

    “Udah, ya, bang, aku pulang,” aku pamitan dengan menggenggam tangannya yang masih terasa dingin. Dan untuk pertama kalinya sejak aku menemaninya, abang memandangku hangat meski tidak berucap apa-apa.

Aku hanya tersenyum memandangnya, berharap itu bukan saat-saat terakhir kita bertemu. Masih ada hari esok kita ketemu lagi.

    “Aku pulang, ya, bang,” sekali lagi aku pamitan karena entah kenapa, kali ini terasa sangat berat meninggalkan dia.

Abang hanya mengangguk perih.

Aku tersenyum dan pulang dengan penuh keyakinan aku masih bisa ketemu abang lagi. Dan di hari itu aku akan tahu perasaan abang padaku.

Kembali ke kantor, kembali pada rutinitasku yang melelahkan. Tapi tetap tidak bisa menghilangkan pikiranku akan abang. Penuh was-was, aku menunggu kenyataan, apakah abang jadi dibawa pulang? atau Medi dan teman-teman bisa mempertahannya abang, paling tidak sampai hari minggu? Aku sempat berpesan pada Handi, kalau memang abang jadi dibawa pulang, paling tidak ada beberapa temannya yang menemani abang sampai di rumah sana. Tapi Handi berkeberatan akan tanggung jawab itu. Akupun mengerti dengan kapasitasnya yang bukan ahli medis, akan sulit menanggung beban bila terjadi apa-apa pada abang di jalan nanti.

Semakin sore perasaanku semakin tidak tenang, dan sebelum maghrib aku putuskan untuk menelepon Medi. Dan jawabannya langsung membuatku lemas.

   “Udah, mbak, jadi dibawa pulang. Ini selang dan infusnya sedang dilepas.”

Jantungku berhenti seketika. Harapanku pupus. Abang dibawa pulang, membuatku tidak bisa melihat abang lagi, membuatku tidak bisa menemani abang lagi. Air mataku langsung menetes, dengan perasaan tidak terima. Tidak terima dengan keputusan keluarganya yang terhitung gegabah. Abang masih belum sehat. Abang belum bisa jalan jauh, meski dengan kendaraan pribadi. Kemarin saja hanya dari Borromeus sampai RSHS abang muntah hebat, ini mau dibawa ke Bogor, bisa collapse abang di jalan. Abang belum bisa dibawa pulang. Terus bagaimana dengan CT Scannya? Bagiamana abang nanti di perjalanan? Bagaimana kalau abang semakin parah? Pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk di kepalaku dan sangat menyesakkanku. ABANG GA BOLEH DIBAWA PULANG DULU!!!!

Tapi apa daya, keputusan keluarga jauh lebih kuat daripada keinginan teman-temannya di sini. Dan kita tidak bisa berbuat apa-apa selain melepas abang pulang. Mudah-mudahan keputusan ini adalah yang terbaik, dan abang bisa membaik di tengah keluarganya. Dengan abang dibawa pulang, untunglah aku dibekali nomor Bang Irman, dan tanpa malu aku langsung mengirim pesan pada abangnya menanyakan kabar abang, dengan segala pertanyaan penuh kekhawatiran tentang kondisi abang selama di perjalanan.

Tepat pukul 11 malam, aku mendapatkan telefon dari abangnya, yang mengabarkan abang sudah tiba dengan selamat di Bogor. Aku langsung menanyakan keadaannya. Katanya abang sudah tertidur kelelahan. Akupun tidak bisa bertanya apa-apa lagi. Aku sudah cukup lega, abangnya mengabarkan kondisi abang, meski belum banyak perubahan.

Dua Minggu dalam Kedipan Mata - A DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang