1. Abang Sakit
21 Oktober 2008
“Mbak, tuh abang sakit,” sebuah kalimat yang bikin aku kaget saat aku baru saja sampai di kantor. Sebuah kalimat dari Asri, yang ternyata baru saja mengantarkan abang ke rumah sakit pagi tadi.
Aku langsung menengok ke ruangan sebelah, tempat biasa abang istirahat kalau sudah terlalu capek kerja semalaman. Dan aku tertegun melihatnya tergeletak di lantai. ‘Miskin sekali kantor ini, ga punya kasur buat pegawainya untuk istirahat. Ga liat apa, kerjaan di sini udah pake sistem kerja rodi!’
“Mbak, abang suruh sarapan dulu, obatnya harus diminum, dia muntah hebat tadi. Takutnya tifus,” Asri sekali lagi memberi tahuku dengan wajah khawatir.
Aku makin tertegun. Mudah-mudahan bukan tifus, paling juga masuk angin, karena melihat kerjanya abang yang luar biasa hebatnya sampai tidak ada waktu buat istirahat.
Aku hanya mengangguk dan tanpa pikir panjang, aku langsung minta tolong seorang office boy membelikan nasi kuning untuk abang sarapan pagi.
Menunggu sarapan datang, aku buatkan abang teh manis, meski aku tahu belum pernah aku melihat abang minum teh. Yang diminumnya cuma 1; kopi. Kopinya pun kopi cappucino.
Aku menunggu dengan tidak tenang, apalagi melihat abang yang kelihatan lemas sekali.
Sampai akhirnya sarapan datang, dan aku langsung menyiapkannya di atas mejanya.
“Bang, sarapan dulu, buat ganjel obat,” panggilku, tidak tega tergeletak melihat abang di lantai.
Tapi tidak ada sahutan.
“Abang, harus sarapan dulu,” aku belum putus asa.
Masih belum ada jawaban.
Aku tahu, abang orangnya nggak bisa dipaksa. Hingga akhirnya aku menyerah. Mungkin abang mau makan kalau tidak ada yang melihat.
Aku pun keluar, karena memang banyak pekerjaan yang harus aku lakukan hari ini.
Tapi sesibuknya aku, masih sempat aku menengok abang untuk melihat apakah abang sudah sarapan atau belum. Dan memang, sarapannya belum disentuh sama sekali.
Aku coba lagi membujuk abang untuk sarapan, dengan senjata harus ada ganjel buat minum obat. Tapi masih, abang tetap bergeming. Aku yang takut kena semprotnya karena nggak suka dipaksa, lebih banyak mengalah.
“Mbak, orang sakit itu harus dipaksa makan. Mana ada orang sakit yang enak makan. Makanya harus dipaksa, mbak, buat ganjel obat,” Asri sekali lagi jadi pendukungku buat terus membujuk abang supaya mau sarapan, karena memang nggak ada yang peduli abang sudah makan atau belum. Mereka semua seperti disibukkan dengan pekerjaan mereka, hingga lupa editor andalan mereka sedang tergeletak sakit di lantai tanpa kasur dan selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Minggu dalam Kedipan Mata - A Diary
Storie d'amore“Mendampinginya saat senang dan sedih, saat sehat dan sakit, hingga kematian memisahkan kalian’ Mungkin bagus juga ‘Marriage Vow’ di atas. Tapi lupakan kalimat terakhirnya yang ‘hingga kematian memisahkan mereka’, karena plan itu masih sangatlah jau...