5. Satu Minggu dalam kedipan mata.

373 7 1
                                    

5. Satu Minggu dalam kedipan mata.

Hari Sabtu yang menyebalkan. Aku yang seharusnya libur, harus lembur, karena ada tugas membuat filler order Jakarta. Tapi tetap, aku tidak putus mencari informasi keadaan abang. Sepertinya setiap menit aku harus tahu keadaan dia.

Dan pukul 10 pagi,  aku menelepon lagi Bang Irman. Sebuah jawaban cukup membuatku hampir pingsan,

    “Ya, kita sudah sampai di Bandara, segera berangkat ke Makassar.”

GUBRAK!! Nekad sekali dan gegabah, memutuskan untuk langsung membawa abang ke Makassar, bahkan tidak memberi abang waktu istirahat seharipun. Aku tidak berani membayangkan bagaimana menjadi abang, merasakan letihnya tubuh ini selepas perjalanan jauh dengan kondisi badan jauh dari fit, ditambah sakit di kepala yang tidak mau hilang.

‘Oh, abang, yang sabar ya... yang kuat.....’

Pukul 3 sore aku kembali mendapat telefon dari Bang Irman, yang mengabarkan mereka sudah sampai di Makassar dengan selamat. Saat kutanyaakan abang, abangnya hanya menjawab,

“Reihan baik-baik saja, hanyak terlihat letih.”

‘Ya, pastilah capek. Gila apa, ini, abang. Tega bikin adiknya yang sakit begini harus menempuh perjalanan jauh, lewat udara lagi’. Aku semakin tidak berani membayangkan apa yang dirasakan Bang Rei. Kalau aku, pasti sudah muntah-muntah. Bener-bener tidak punya perasaan!

Tapi paling tidak hikmah yang bisa aku ambil dari pulangnya abang ke Makassar, dia bisa dekat dengan ibunya, yang mungkin akan membuat keadaan abang membaik. Aku tahu ibundanya pasti sangat mengkhawatirkannya. Ya, ibu mana sih yang tidak panik kalau dengar anaknya sakit. Jadi mungkin akan ada perkembangan baik dari abang setelah dia berada di tengah keluarganya yang pastinya akan menjaga dia 24 jam penuh tanpah pamrih dan tentu saja penuh dengan kasih sayang. Ini sedikit membuatku tenang, dan yakin abang akan baik-baik saja. Hanya ada ketakutanku. Aku takut abang akan lama di sana, karena aku yakin dengan kondisi abang yang seperti ini dengan pekerjaannya yang kerja rodi tentu keluarganya tidak akan mudah melepaskan abang untuk kembali ke Bandung dalam waktu dekat. Paling tidak butuh 3 bulan lah, untuk abang full recovery dari sakitnya ini, dan itu berarti 3 bulan aku tidak ketemu abang. Siksaan lagi, nih!

    “Kalau abang gak balik lagi ke sini, gimana?” sempat pertanyaan itu keluar karena saking takutnya tidak bisa ketemu abang lagi.

Tapi banyak yang menenangkanku.

    “Pasti balik lagi, lah, Put, orang barang-barangnya dia di sini semua. Kalaupun ga kerja lagi di sini, pasti dia ke sini ngambil barang-barangnya.”

Aku hanya tersenyum pahit sedikit terhibur. Ya, abang pasti balik lagi ke sini.

Dengan abang yang berada di sana, aku terus berusaha untuk mencari tahu perkembangan abang. Untunglah keluarga abang cukup kooperatif denganku. Aku dihubungkan langsung dengan kakak perempuannya, Kak Yanthi, yang memang aku dengar dia adalah kakak yang paling dekat abang. Kalau ada apa-apa pasti abang curhat dengan Kak Yanthi. Tapi ternyata keadaan abang belum banyak berubah. Abang masih lemah dan masih belum bisa bicara. Keluarganya meyakini, ada sesuatu yang dipikirkan abang, sampai dia enggan bicara. Aku pun mencoba untuk mendorong keluarganya untuk pelan-pelan membujuk abang untuk bicara melalui obrolan dari hati ke hati. Karena kalau didekati dengan hati, abang pasti perlahan mau bicara.

Hari Senin aku mendapat berita baik. Abang sudah bisa makan bubur dan sudah bisa duduk. Abang sudah bisa masuk nutrisi yang tidak hanya dari infus saja. Jelas ini sebuah perkembangan yang bagus meski abang masih belum bisa bicara. Keluarganya tetap meyakini abang stres dengan permasalahannya hingga tidak mau bicara dan sulit mengeluarkan isi kepalanya. Kondisi abang yang membaik hingga diputuskan untuk membawanya pulang ke rumah.

Akupun diminta keluarganya untuk mencari segala macam informasi tentang abang di luar sana. Tapi jujur aku tidak tahu apa-apa soal dia. Abang sangat tertutup, dan mana pernah dia cerita masalahnya padaku. Aku pun dengan terpaksa membongkar-bongkar laci kerja abang untuk mencari secarik informasi penting tentang permasalahan yang membelitnya. Tapi tidak ada. Yang aku temukan hanya tagihan-tagihan kartu kreditnya dan rekening listriknya. Tidak banyak yang bisa aku bantu. Akhirnya aku meminta tolong Handi untuk mencarikan teman yang paling dekat dengan abang dan paling dipercaya abang untuk berbicara dari hati ke hati dengan abang sampai apa yang menjadi beban pikiran abang keluar. Karena ditakutkan kalau abang tidak juga mengeluarkan apa yang ada di kepalanya, dia bisa terkena stroke dan terburuknya lumpuh!

Dan benar apa yang aku takutkan. Hari berikutnya, Selasa, aku mendapat kabar dari Kak Yanthi, tubuh sebelah kanan abang mati rasa, sama sekali tidak bisa digerakkan. Ini yang membuatku ketakutan. Karena memang saat di Bandung kemarin, dokter mengkhawatirkan terjadinya kelumpuhan ini, karena itu dokter meminta untuk dilakukannya CT Scan. Tapi entah kenapa sesampainya di Makassar CT Scan abang belum juga dilakukan.

Hari berikutnya semakin mengkhawatirkan dengan aku mendapat kabar abang kejang, dan tidak sadarkan diri. Aku semakin gemas. Tindakan medis apa yang sudah dilakukan untuk abang? Dan rumah sakit sudah memberi apa pada abang? Dari kemarin setiap aku tanya pada keluarganya di sana, treatment apa yang sudah dilakukan, mereka hanya menjawab,

    “Ya, ini... masih begini...belum ada treatment apa-apa.”

HELLLO!!?? Abang sudah lumpuh sebagian nih, abang juga sudah kejang, mau tunggu apa lagi? DO SOMETHING!!!!  CT SCAN kek, MRI kek, atau kalau memang harus, lakukan itu LP – Lumbar Puncture! Aku tidak peduli sekarang, yang penting ketahuan abang sakit apa. Ini sudah jelas abang sakit serius, bukan hal-hal yang aneh-aneh. Abang butuh pertolongan medis!

Dan akhirnya melihat abang yang sudah tidak sadarkan diri setelah kejang, abang langsung dilarikan ke rumah sakit lagi. Mereka panik dan mulai melakukan sesuatu dengan dilakukan berbagai tes. Tapi mungkin sudah terlambat. Aku diminta keluarganya untuk ikut berdoa karena abang sudah pada kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Semua keluarganya sudah  berkumpul untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Bang Irman yang kemarin sudah sampai di Bogor harus terbang kembali ke Makassar karena keadaan Bang Rei yang semakin memburuk.  Dan semua hanya bisa berdoa. Berharap semua belum terlambat dan masih ada harapan untuk abang.

Dua Minggu dalam Kedipan Mata - A DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang