3.0 : Helaian Rasa yang Ketiga

67 15 6
                                    

Helaian Rasa yang Ketiga
'Pertama Kalinya Berbicara Dengannya'

Dan dua hari setelah kami, wakil perkelas mengadakan rapat, kami mulai kerja tim.

Tentunya, kami sudah tidak PLS lagi. Kami sudah memasuki kelas - kelas. Kau ingin tahu aku masuk kelas apa? Tapi jika kuberitahu padamu, kau akan tidak percaya mengingat Renata adalah Renata. Apakah kau mengerti maksudku?

Baiklah cukup sekian omong kosong dariku. Aku masuk kelas olimpiade. Di sekolahku ada kelas olimpiade khusus untuk anak yang mempunyai nilai paling tinggi di antara lima ratus empat siswa. Dan yang masuk kelas olimpiade hanya tiga puluh enam anak.

Jadi, kau bisa bangga memiliki teman yang cerdas seperti ku.

Mungkin aku senang sih masuk kelas olimpiade, tetapi aku jadi tak bisa sekelas lagi dengan Bella. Gini - gini aku setia kawan.

Bella masuk kelas X - MIPA - 5.

Bella juga lumayan pintar, kok.

Baiklah kita lanjutkan ceritaku.

Aku kali ini sedang menentukan konsep yang akan dibuat. Jadi, konsepku kali ini adalah membuat patung. Patung dengan angka satu. Karena aku sekolah di SMA Negeri 1 di kotaku. Kau ingin tahu kotaku? Coba cari deh.

Kami sedang berunding desain untuk menghias patung polos yang berbentuk angka satu itu. Patungnya cukup tinggi. Sekitar dua meter tingginya dan besar juga. Karena itu, kami harus memutar otak.

Karena aku tak pandai menggambar, mendesain, atau melukis, aku hanya menjadi penonton saja dalam perundingan ini. Toh, jika aku ikut - ikutan malah merusak segalanya.

Setelah menunggu perundingan selama setengah jam, akhirnya desain jadi juga. Tapi entah mengapa, aku tidak melihat Rio, iya, lelaki yang kukagumi itu. Jangan - jangan kau lupa, lagi? Catat nama itu! Tapi jangan menjadi penyaingku ya.

Setelah itu ya aku hanya membantu menyiapkan alat - alat yang diperlukan. Masa aku ikutan melukis patung itu? Nanti patungnya malah hancur berantakan jika kusentuh. Percayalah.

Sedangkan Bella, dia sangat pintar menggambar, melukis, dan kawan - kawannya. Dia cerdas di bidang seni. Aku melihatnya sedang memoles patung dengan warna - warna yang telah ia racik. Terlihat warna gradasi di patung itu setelah ia lukis bersama teman timku yang lainnya.

Benar - benar sangat berbakat.

"Renata, tolong beliin cat warna biru sama merah ya! Ini habis nih," kata Dina, teman timku yang ikut mengecat.

"Oke. Berapa?"

"Satu warna dua cat."

"Oke."

Baiklah aku meluncur menunggu taxi lewat menjemputku karena aku barusan memesannya.

Kau pasti bertanya kenapa aku tak menggunakan kendaraan pribadi dan sebagainya.

Pastilah aku tak menggunakan kendaraan pribadi, bisa - bisa aku masuk BK dengan licinnya. Dan yang harus kau ingat, aku masih kelas sepuluh, sehingga sekolahku tak membolehkan murid kelas sepuluh membawa kendaraan pribadi sendiri.

Unbroken ReachableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang