2. Welcome

23 1 0
                                    

Semilir angin menyapa kedatangan Nelisa. Pandangannya tertuju pada sebuah rumah sederhana dihadapannya. Rumah yang orang tuanya berikan untuk anak semata wayang mereka selama bersekolah di sana.

Huft!

Nelisa menghempaskan napas kasar. Keraguannya untuk tinggal di tempat yang begitu asing kembali menyeruak. Namun cepat-cepat ia kendalikan rasa itu.

"Gue harus berhasil. Refan tunggu gue" Nelisa berkata pelan untuk meyakinkan dirinya sendiri.

***

Cklak

Angin sore mulai memasuki kamar barunya ketika jendela kamar dibuka. Jalanan sepi menjadi satu-satunya pemandangan sore itu. Angin memindahkan daun-daun yang gugur secara perlahan. Dengan perlahan pula Nelisa menitikkan air matanya. Siapa yang bisa mengerti soal dirinya, ketika Nelisa sendiri tak mampu memahami. Ia memang tahu betul apa tujuannya berada di kota tersebut, namun ia tak mengerti kenapa dirinya tak mampu mengendalikan perasaanya terhadap lelaki yang bahkan tak sudi lagi melihatnya. Perasaan itu sungguh menyiksa. Kenapa? Karena perasaan itu begitu tega mengambil kendali hidupnya, ia sadar betul hatinya telah dijajah.  Kenapa ia tak bisa berhenti memperjuangkannya? Berjuang sendirian, rasanya tak adil.

Dengan perasaan kalut saat itu, hanya tetes-tetes air matalah yang sanggup bercerita walau hanya sekedar menenangkan. Tapi setidaknya, ia akan bersekolah di SMA yang cukup terkenal walau ia belum pernah ke sana. Dan dengan restu orang tua, ia pasti mampu melalui semua rintangan yang akan datang. Maka ketika tetes air mata terakhirnya telah mengering, matahari makin terbenam, angin bertiup semakin dingin, jendela kamar itu harus ditutup. Menutup sore yang tenang atau lebih pantas dibilang sepi.

Selamat datang Nelisa, selamat datang di kota tua yang asing demi hari baru bersama tujuan lama!

Batinnya menyambut.

***

SELAMAT DATANG MENUNTUT ILMU

Setidaknya saat ini, tulisan itulah yang menjadi pusat perhatian Nelisa di tengah keramain. Bertanya-tanya, siapakah arsiteknya. Omong-omong, ini adalah kali pertamanya ia menginjakkan kaki di sekolah itu, sekolah yang terlihat sangat megah, ternyata memang pantas sekolah ini menjadi sangat terkenal di luar kota, tidak hanya soal prestasi, tapi fasilitasnya juga begitu mengagumkan untuk ukuran sekolah menengah atas. Dan kini, di sekolah itu pula, ia menjadi murid baru bersama ratusan siswa lainnya.

Tapi sayangnya, sepertinya ia menjadi satu-satunya yang datang dari tempat yang cukup jauh. Kelihatannya sekolah ini tidak banyak menerima murid baru atau pun pindahan dari luar kota. Kalau begitu, sudah sepatutnya Nelisa merasa bersyukur atas kepandaiannya yang mampu membawanya ke sekolah dengan bangunan yang bisa dibilang... klasik?

Masih berkutat di tengah keramaian. Membuat Nelisa menjadi malas, malas mencari sendiri ruangan yang akan ia tempati. Mungkin sebaiknya ia bertanya pada seseorang di dekatnya. Sekelompok laki-laki atau perempuan? Mungkin lebih baik dengan kumpulan laki-laki, ia malas menjadi buah bibir gadis-gadis seumurannya.

"Hei" Tegur seseorang sembari menepuk pundaknya

Nelisa membalikkan badan "Ya?"

"Butuh bantuan?"

"Bisa tunjukin gue ruangan 21 gak?" Pinta Nelisa

"Astaga, jadi kamu anak yang baru pindah ke kota ini?"

Nelisa hanya menatap mata orang itu.

"Jadi kamu yang namanya Nelisa Aliana?" Sambung orang itu

"Jadi gara-gara gue datang dari jauh, nama gue salah satu yang paling disorot ya?"

"Bisa dibilang begitu, tapi itu lebih karena kamu datang dari ibu kota. Dari cara bicara saja kamu belum bisa menyesuaikan"

"Ok, apa itu peraturan? Terus apa datang dari ibu kota yang maksud sebenarnya merujuk ke kota metropolitan itu dianggap buruk di sini?" Tanya Nelisa

"Tidak ada yang bilang begitu, tapi kau benar soal peraturan. Salah satu peraturan di sini diantaranya menjunjung tinggi sopan santun, dan di sini gaya bahasa adalah hal yang sangat penting dalam aturan kesopanan. Jadi maaf, gaya bahasamu sebaiknya lebih santun lagi"

Nelisa menatap lelaki itu, manis? Tidak tidak!  Bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya. Melainkan soal peraturan, ia merasa peraturan itu sedikit terasa kaku.

"Fine! Gue minta maaf" jawab Nelisa

"Permintaan maaf diterima. Omong-omong, kenalkan aku Defan" ucap anak lelaki itu sembari menjulurkan tangannya pada Nelisa untuk mengajak bersalaman.

Nelisa menerima uluran tangan tersebut. "Salam kenal panggil gu- aku Nelisa. Lo- maksudnya kamu OSIS kan? Dan pastinya kakak kelasku, jadi apa aku perlu panggil dengan embel-embel kak?"

"Itu terserah saja dan tadi kau bilang ingin ke ruang 21, ayo ikuti aku"

Baguslah, aturan kesopanannya gak terlalu rese ternyata.

Ucap Nelisa dalam benaknya.

Nelisa pun berjalan mengekor di belakang Defan.

Selama berjalan Nelisa sejujurnya dibuat kagum oleh arsitektur bangunan sekolahnya. Namun tiba-tiba sebuah bola voli melesat dari arah yang tidak terduga dan tepat menghantam kepala Nelisa dengan sangat keras.

Bruk!

Nelisa jatuh terhuyung, semuanya menjadi gelap.

Mati lampu palingan :v *apasih ga lucu*
Yaudah, yang jelas I hope you enjoy to read my story...

And please don't forget to leave vomment here...

Thank u so much and see you!!

Nauli ♡

TeardropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang