1. Pamit

28 3 0
                                    

Sudah setahun penuh Nelisa tak pernah melihat Refan lagi. Mendengar kabar dari orang-orang, Refan telah pergi ke kota kelahirannya, cukup jauh memang dari kota yang sedang Nelisa tinggali, dan kabar itu bukan isapan jempol belaka. Beberapa bulan yang lalu Nelisa melakukan konsultasi pada guru konseling di sekolahnya sekaligus mencari tahu soal Refan, benar saja, Refan pergi ke sebuah kota kecil dimana Nelisa sendiri belum pernah mengunjunginya.

***

Hati Nelisa dilanda gundah gulana. Bagaimana tidak, esok hari ia harus menuju ke sebuah kota tua kecil, kota yang katanya tempat kelahiran Refan. Sebelumnya, tekad hatinya sudah bulat untuk bersekolah di kota tua itu demi mencari Refan dan menyelasaikan masalah. Tapi sekarang, rasa bimbangnya kembali memenuhi hatinya, memikirkan rasa rindu pada orang tua, rindu teman-teman, rumah dan hal kesukaan lainnya.

"Nelisa? Masih belum selesai aja, sini ibu bantu" ujar Aliah, ibunda Nelisa.

"Ah ibu, Nelisa kaget" sambil menghentikan aktivitasnya dan menghempaskan badannya ke kasur.

"Kamu jadi gak sebenarnya? Kok malas begitu"

"Ibu... Nelisa kepikiran nanti bakalan kangen ibu, papah, temen-temen, masih banyak lagi pokoknya"

"Kamu bilang udah yakin. Yang jelas ibu gak mau kamu batal sekolah di sana, soalnya ibu sama papah udah nyiapin semuanya buat kamu. Udah disiapin dari waktu dapt pengunguman kalau kamu diterima di sekolah itu, semuanya udah beres, Nelisa. Kalau kamu gak jadi, sekolah mana yang masih buka pendaftaran?!"

"Iya ibu.. Nelisa juga gak mau batalin. Nelisa tetep kekeh nyelesaiin masalah sama Refan" ucap Nelisa tegas

"Nah bagus tuh, kamu emang harusnya gitu, tanggung jawab sama pilihan sendiri. Ibu sama papah juga pernah muda, makanya ngebolehin kamu buat nyelesaiin masalah sama sahabat atau orang yang kamu suka itu" goda Aliah

"Apaan sih bu?!" Jawab Nelisa sambil tertawa kecil

"Ya pokoknya ibu gak mau kamu nyia-nyiain ijin yang udah papah kamu kasih" ucap Aliah sambil menatap mata anak tunggalnya sungguh-sungguh.

Nelisa mengangguk.

***

"Pah, serius kan aku boleh sekolah di sana?" Tanya Nelisa

Hari sabtu. Ketika matahari masih belum menampakkan dirinya, gerimis sudah sejak tadi mengguyur kota metropolitan itu. Saat itu pula Nelisa dengan kedua orang tuanya telah berada di stasiun.

"Nelisa, jangan bikin papah berubah pikiran. Tapi inget kamu, jangan macam-macam di sana, sekolah yang bener, kalau sampe ada telpon yang aneh-aneh dari sekolah, nanti papah sama ibu langsung ke sana" Haryan, papah Nelisa berpesan penuh kekhawatiran.

Maklumlah, Nelisa adalah anak semata wayang. Tentu orang tuanya sangat mengkhawatirkan kepergiannya ke kota kecil itu.

"Iya pah, tapi kenapa Nelisa dibolehin? Nelisa punya temen yang anak tunggal juga, apa-apa serba ga boleh, harus deket... terus sama orang tua. Kok Nelisa boleh sih??"

"Kamu merajuk apa sih Nel? Jangan bilang kamu mau batal ke sana??" Ucap Aliah mencurigai

Nelisa hanya menggeleng.

"Mau tau kenapa?" Timpal Haryan

Nelisa memandang papahnya dengan tatapan manja seperti anak balita ditambah penuh tanda tanya.

"Kamu kan bisa cari tahu sendiri" jawab papahnya

Nelisa menghempaskan napas kasar. Kecewa mendengar jawaban itu. Pikirnya, kalau jawabannya begitu ya tiduk perlu ditanyakan lagi.

Tiba-tiba suara kereta mendekat terdengar. Ternyata itu adalah kereta tujuan Nelisa, ia segera memeluk kedua orang tua dan berpamitan lalu segera menaiki kereta tersebut. Barang-barang yang ia bawa tidak banyak, karena sebelumnya ia telah pergi kesana membawa semua keperluan bersama kedua orang tuanya.

Kereta bersiap melaju, Nelisa telah duduk sambil menatap keluar jendela. Orang-orangpun terlihat sudah memenuhi gerbong kerta. Kini kereta mulai melaju perlahan, tangan Nelisa melambai-lambai pada sepasang suami istri yang harmonis, orang tuanya.

***

Nelisa terbangun dari tidurnya, menyadari ia tertidur dengan lagu yang tetap diputar, tentu saja ia segera mematikannya lalu melepaskan headphone.

Terlihat segelintir orang berlalu lalang, ada yang sibuk memindahkan barang, mengantarkan makan, dan lainnya. Pemandangan yang membosankan, Nelisa lebih memilih memalingkan wajah ke arah jendela. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang ringan terjatuh di pahanya. Sebuah kertas.

"Punya siapa ini?" Bisik Nelisa pada dirinya sendiri. Ia ingin mengembalikan, namun melihat lagi ke sekelilingnya, tidak ada lagi yang berlalu lalang, semuanya duduk tenang di tempatnya masing-masing. Hal itu membuat Nelisa bingung sendiri karena tidak melihat siapa yang menjatuhkan kertas itu.

Akhirnya Nelisa memutuskan untuk melihat-lihat kertas tersebut, mungkin saja itu tidak penting jadi ia tidak perlu mengembalikannya.

KAPAN KAMU BERHENTI MENGGANGGU HIDUP ORANG LAIN? PULANGLAH KE KOTAMU!! KAMU HANYA AKAN MENGACAUKAN REFAN!! JAUHI DIA!!

Kalimat yang tertulis di kertas itu membuat Nelisa cukup kaget.

"Hah?!!" Ucap Nelisa sedikit berteriak, sampai-sampai membuat orang yang duduk di sebelahnya menoleh.

"Siapa yang naruh atau jatuhin kertas ini?" Tanya Nelisa pada orang asing di sebelahnya.

Orang itu menggeleng bingung.

Ada yang mata-matain gue? Tapi siapa? Apa maksud tulisannya?

Batin Nelisa.

***
Hai hai, gimana ceritanya? Banyak kekurangan ya? Tolong kasih saran ya? Terimakasih ^^

Don't forget to give me vote and comment guys.... pliiisss jangan jadi silent readers, walaupun sebenernya terserah kalian sih wkwkw

Tapi vote kalian berharga banget, nanti bakal saya update cepet deh...

Ok sekian. Maap banyak omong nih. See you

Nauli.

TeardropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang