5. Keputusan

9 0 0
                                    

Hera menatapku tajam. Aku tahu ia tak menyukai kelakuanku yang sudah mengehentaknya, tapi kalau ini demi memperjaungkan Refan, aku tidak peduli tante tante macam apa dihadapanku.

"Kerja bakti satu bulan" ucapnya

Apa? Itu sesuai yang aku katakan? Mataku menatap tak percaya pada Hera.

"Kau boleh keluar" ucap Hera

Aku buru-buru bangkit mendengarnya. Tidak lupa bertanya "kau menurutiku?"

"Karena ini kewenanganmu, maka harus aku lakukan. Kau boleh segera pulang sebelum aku berubah pikiran"

Benar juga, lebih baik aku segera berpamitan. Itu lebih aman.

****

"Kamu mengenalnya?" Tanya Defan padaku

"Refan?" Defan diam menunggu jawabku "ya, ia alasan kenapa aku ke sini"

"Demi dia? Kenapa?"

"Hatiku bilang begitu. Sudahlah, itu tidak penting bagimu"

Aku pun menganggukkan kepala menandai ingin mendahului langkahnya. Hari ini matahari bersinar terik, namun pohon yang rindang lumayan menyembunyikan panasnya. Jadi mengingat senyumku sendiri yang menyembunyikan luka.

"Valerie!" Ucapku sambil menepuk pundaknya dari belakang

"Nelisa! Mengagetkan orang itu tidak lucu"

"Maaf, apa kau siap untuk tesnya?"

"Kurasa begitu, kalau kita berhasil jadi pengurus OSIS--"

"Pemberitahuan kepada para peserta tes seleksi pengurus OSIS harap segera berkumpul di aula. Terimakasih" terang suara di speaker yang ada hampir di tiap sudut sekolah ini. Aku dan Valerie pun segera bergegas ke aula melupakan percakapan kami.

****
Aku heran, kenapa saat tes tadi yang mengawasi ataupun mengetesku selalu ada Defan? Kalau begini ia bisa memperlambatku untuk berkenalan dengan yang lain. Tapi setidaknya tesnya sudah berakhir untuk hari ini.

"Nelisa" aku tahu itu suara Defan. Aku menoleh ke belakang.

"Mau pulang bersama?"

"Kurasa aku ingin bersama Valerie" ucapku sambil mencari-cari Valerie yang katanya arah jalan pulangnya sama sepertiku.

"Kurasa Valerie sudah pulang lebih dulu. Jadi mau kutemani?"

Ya ampun, ia berusaha tidak memberi pilihan padaku kalau cara bicaranya begini. Ditambah, perasaan tidak enakan sudah hinggap. Kalau begitu aku putuskan untuk mengiyakannya.

Ia pun melangkahkan kaki tanpa aba-aba. Membuatku sedikit mengejarnya, apa apaan sih. Sekarang aku yang membuntutinya menuju parkiran mobil, kenapa ia tidak memilih berjalan beriringan? Dasar menyebalkan.

"Pakai sabuk pengamannya" ucap Defan ketika aku sudah berada di dalam mobilnya.

"Jaraknya dekat" kilahku

"Siapa yang tahu kalau akan ada kecelakaan dijarak sedekat yang kau pikir"

"Tapi pakai sabuk pengaman belum pasti selamat" ujarku sambil memasang sabuk pengaman.

"Setidaknya kau berusaha demi dirimu sendiri"

Kenapa aku merasa tersindir soal Refan. Tapi aku tidak mau mendebatnya. Lebih baik aku diam.

Keputusanku untuk diam sepertinya disetujui Defan. Ia juga tidak berusaha membuka percakapan apapun denganku. Sampai-sampai di mobil berdua ini yang kuperhatikan hanyalah rintik hujan yang makin deras. Dan rumahku pun semakin dekat. Dan sepertinya aku harus memberi tahu Defan untuk berbelok padahal aku malas berbicara.

"Sebentar lagi belok kiri" ucapku

Defan hanya mengangguk dan terus menatap kaca mobilnya yang berkapasitas dua orang.

"Di pekarangan bunga itu tolong berhenti"

Ia mengangguk.

"Rumahmu disitu?" Tanyanya setelah menghentikan mobil sesuai yang kuminta. Aku mengiyakan dan hendak pamit padanya.

"Tunggu dulu" ucapnya yang justru keluar mobil mendahuluiku, dan membuka pintu belakang mengambil payung, lalu segera membuka pintu mobil di bagianku. Singkatnya, ia memayungiku dari rintik-rintik hujan yang bertambah deras.

"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku tak percaya

"Nanti kalau kau sakit, kau bisa tidak ikut tes dihari ketiga"

"Kalau begini justru kau yang akan sakit. Sudahlah, aku merasa tidak sopan" akupun segera melangkah keluar dari zona payungnya. Tapi sesuai yang kau tebak, Defan mengikutiku.

"Defan. Aku tidak apa-apa. Dan berhentilah disitu, ini sudah rumahku, kali ini aku tidak memberimu izin masuk maka jangan ikuti aku. Tidak sopan" ucapku untuk menghentikannya mengikutiku ketika aku sudah meraih pagar rumahku yang masih jauh dari pintu rumah.

"Yasudah, tapi jangan sampai kau sakit"

Aku malah segera berlari ke teras. Lalu baru menjawabnya "tentu tidak. Terimakasih sudah mengantarku"

"Bukan masalah, rumahku dekat"

Aku pun tersenyum lalu melambaikan tangan dan segera masuk ke rumah. Tidak sopan mungkin, tapi aku malas basa-basi dengannya.

TeardropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang