Perempuan itu suka menulis. Berawal dari kebiasaannya menulis buku harian, kemudian berlanjut menjadi coretan-coretan skenario random yang sering terlintas di benaknya, sampai ratusan file-file Microsoft Word yang berisi berbagai cerita pendek, atau bahkan hanya potongan plot tanpa ada jalan cerita khusus.
Ia menyukai rasanya terhisap ke dunia lain saat sedang menulis. Menulis baginya adalah pelarian. Seperti bermain peran, ia bisa menjadi apa saja yang ia inginkan saat menulis; peri hutan, raksasa, bidadari, atau anak SMA yang baru menginjak masa puber hanya dengan merajut huruf menjadi kata, dan kata menjadi cerita.
Ia sering bercerita kepada Kesatria Kayu tentang mimpinya, tentang tulisan-tulisannya, tentang berbagai imaji yang ada di dalam tempurung kepalanya. Tapi ia tidak pernah secara eksplisit menunjukkan hasil tulisannya kepada sang teman bicara.
Aku ingin melihat hasil tulisanmu.
Kesatria Kayu pernah berkata suatu hari. Perempuan itu tertegun, baginya karyanya adalah sesuatu yang sangat personal. Membiarkan orang lain membacanya rasanya tidak jauh beda dengan ditelanjangi luar dalam. Bahkan setelah dua bukunya terbit dan mendapat titel 'best seller', ia lebih memilih bersembunyi di balik nama pena dan akun social media anonim untuk berinteraksi dengan para pembacanya. Ia tidak menyukai ketenaran karena itu berarti akhir dari kebebasan.
Aku sedang tidak menulis apapun saat ini.
Ia tidak berbohong. Sejak buku terakhirnya terbit setahun yang lalu, perempuan itu memang belum menulis apapun lagi. Ia kehilangan inspirasi. Ia kehilangan muse.
Aku mengagumimu, Bunga Matahari.
Perempuan itu mengerenyit tapi ia bisa merasakan pipinya menghangat atas pujian yang datang secara tiba-tiba itu.
Maksudmu?
Ya, aku kagum denganmu yang seperti menjalani 2 kehidupan berbeda dalam satu waktu. Sebagai seorang pekerja biasa, dan sebagai seorang penulis.
Pipinya kembali bersemu, sementara bibirnya terlengkung membentuk sebuah senyuman malu-malu.
Aku bukan seorang penulis. Aku... adalah penikmat tulisan.
Agak lama sebelum Kesatria Kayu mengirimkan balasannya, dan saat balasan itu datang sang perempuan dihadapkan pada sebuah foto dari sebuah novel dengan ilustrasi padang bunga matahari sebagai covernya.
Aku tahu itu kau, begitu pesan yang masuk setelahnya.
Dan itu memang ia.
***
Bagaimana kau tahu itu aku?
Lelaki itu terkekeh pelan sembari menyesap kopinya. Buku bergambar bunga matahari itu tergeletak di meja kerjanya, warna kuningnya yang cerah tampak mencolok dibandingkan berbagai kertas putih penuh angka dan huruf yang membosankan. Representasi yang sangat sesuai terhadap hadirnya sang Bunga Matahari di kehidupannya yang monoton dan membosankan.
Benang merah, Bunga Matahari. Ingat?
Benang merah itulah yang menuntunku padamu...
***
Benang merah... itu dia!
Perempuan itu tersenyum sumringah membaca pesan terakhir dari teman bicaranya. Ia tahu apa yang akan ia tulis selanjutnya, dan ia harus berterimakasih pada sang Kesatria Kayu untuk itu.
Dengan cekatan ia membuka aplikasi Microsoft Word dan kata demi kata pun meluncur deras dari ujung jemarinya. Seperti lahan yang telah lama diterpa kemarau, kata-kata Kesatria Kayu barusan bagaikan hujan yang telah lama dinanti-nanti.
Terimakasih, Kesatria Kayu. Terimakasih...
***
Terimakasih sudah membawa sebagian dari diriku pulang bersamamu, Kesatria Kayu. Aku merasa terhormat.
Justru aku yang seharusnya berterimakasih, Bunga Matahari. Terimakasih telah mengizinkanku membacamu. Aku merasa sangat sangat terhormat. Tertanda, aku, pengagum terbesarmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Matahari dan Kesatria Kayu
RomanceSemua hal selalu berasal dari sesuatu yang sederhana.