Akhir

341 41 6
                                    

6 bulan kemudian

Lelaki itu berdiri di depan sebuah cermin menatap refleksi dirinya dalam balutan jas hitam dan sepatu pantofel mengkilap. Gagah, setidaknya itu yang dikatakan orang-orang yang berkesempatan untuk melihatnya pagi ini.

Cincin itu masih melingkar di jari manisnya, dan lelaki itu terkadang masih merasa aneh atas kehadirannya. Tapi enam bulan telah berlalu dan cincin itu kini tidak hanya sekedar cincin, melainkan komitmen dan tanggung jawab yang lebih besar lagi. Siap tidak siap, lelaki itu harus siap. Gedung sudah dipesan, undangan sudah disebar, dan janur sudah dilengkungkan. Semuanya tampak sempurna, meski sesungguhnya tidak.

Lelaki itu gamang. Sebagian hatinya masih tertambat di tempat lain, tempat yang bahkan belum pernah sekalipun ia kunjungi tapi sudah ia tinggalkan begitu saja tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia menatap lekat-lekat inisial namanya bersanding dengan nama perempuan yang hari ini akan segera resmi menjadi istrinya di atas kartu undangan bernuansa emas.

E & R

Seketika ia merasa sebagai lelaki paling pengecut di dunia ini.

"Kamu sudah siap?"

Lelaki itu menoleh dan menemukan kepala calon ibu mertuanya yang sudah lengkap dengan sanggul rapi menyembul dari balik pintu. Ia terdiam sejenak, untuk selanjutnya mengangguk pelan. Ia harus siap.

Dilangkahkan kakinya menyongsong sang calon mertua ke luar ruangan. Namun, tepat sebelum ia sempat memutar kenop pintu, sudut matanya menangkap setangkai bunga matahari yang tergeletak begitu saja diatas meja yang dipenuhi berbagai pernak-pernik pernikahan.

Bagi orang lain, boleh jadi itu hanya bunga biasa, mungkin diambil oleh salahsatu keponakannya yang masih kecil dari salahsatu instalasi dekor gedung hari ini, kemudian diletakkan begitu saja di atas meja sementara mereka kembali berlarian kesana kemari sambil tertawa-tawa lucu. Mungkin juga itu bagian dari kealpaan divisi dekorasi wedding organizer yang lupa meletakkan sang bunga di salahsatu vas besar yang menghiasi sudut-sudut ballroom yang disewanya hari ini. Setangkai bunga matahari itu tampak biasa dan sederhana jika dibandingkan dengan nuansa mewah yang menghiasi acara besarnya ini.

Meski begitu, bagi sang lelaki, bunga matahari tersebut bukan hanya bunga matahari biasa.

Itu, Bunga Mataharinya.

Ia tersenyum dengan tulus untuk yang pertama kalinya hari itu, kemudian melangkah keluar dari pintu dengan langkah yang lebih ringan dari sebelumnya.

Benang merah, Bunga Matahari...

***

Perempuan itu masih mengunjungi toko buku tua dan bermain dengan anak-anak kucing milik si Bapak Tua. Perempuan itu masih sering duduk di balik kaca dengan laptopnya yang setengah terbuka. Perempuan itu masih menulis. Dan perempuan itu masih menunggu.

Kemana kamu, Kesatria Kayu?

Bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja kah?

Apakah kau merindukanku seperti aku di sini merindukanmu?

Perempuan itu menutup laptopnya dan memandang keluar kedai kopi favoritnya, menembus kaca bening pembatas area tempatnya duduk dengan area outdoor. Ramai. Akhir-akhir ini kedai itu memang semakin ramai pengunjung, berkat promosi online yang tampaknya memang sedang gencar dilakukan manajemennya. Berbagai orang dari berbagai kalangan memadati bangunan kayu bergaya vintage itu, sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk bercengkrama dengan kawan-kawannya, ada yang sibuk mengobrol dengan kekasih mereka, ada yang sibuk membicarakan bisnis dengan partnernya, ada pula yang sibuk dalam kesendiriannya.

Seperti perempuan itu dan laptopnya. Sibuk menunggu seseorang yang ia tahu tidak akan pernah datang. Sibuk merindu meski belum pernah sekalipun bertemu.

Jemarinya mengelus permukaan halus cover sebuah buku yang terletak disamping laptopnya. Buku itu baru terbit bulan ini. Judulnya tercetak besar dalam huruf italic, dengan nama pena sang penulis berada tepag di bawahnya. Keduanya berwarna kuning pucat, seperti gaun yang sedang ia kenakan hari ini.

Bunga Matahari dan Kesatria Kayu

Bunga Matahari

Bunga Matahari dan Kesatria KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang