Hari ini mereka berbicara mengenai masa depan. Perempuan itu membuka percakapan dengan satu pertanyaan sederhana: Apa cita-citamu, Kesatria Kayu?
Tidak butuh waktu lama bagi laptopnya untuk mengeluarkan suara denting familiar yang menandai masuknya notifikasi pesan. Sang Kesatria Kayu pun hadir di hadapannya dalam bentuk rentetan huruf yang bercerita.
Entahlah. Cita-citaku selalu berubah seiring waktu. Pembalap, pemain basket, pilot, astronot... Bahkan sampai sekarang pun jika ditanya menganai cita-cita, jawabanku akan berbeda bagi setiap penanya.
Perempuan itu mengetukkan jemarinya diatas meja kayu, berpikir sejenak sebelum kembali mengetikkan balasan. Dan untuk menjawab pertanyaanku? Apa cita-cita yang akan kau pilih?
Cukup lama waktu yang dibutuhkan bagi sang Kesatria Kayu untuk menjawab pertanyaannya. Kau tahu? Berbicara tentang cita-cita selalu membawaku untuk bercerita mengenai sesuatu yang sudah sangat jarang kubicarakan dengan orang lain. Ketik Kesatria Kayu di layar komputer. Apakah kau berjanji akan menyimpan cerita ini untuk dirimu sendiri, Bunga Matahari?
Demi matahari aku berjanji, Kesatria.
Lama sebelum pesan balasan kembali muncul di layar. Perempuan itu bolak-balik mengecek sudut layar komputernya berharap sebuah pesan segera masuk di sana. Dan ketika denting itu terdengar, sang perempuan menegakkan duduknya bersiap menyimak, seolah Kesatria Kayu memang sedang berada di hadapannya; bercerita.
Ini tentang cinta pertama.
***
Cinta pertamanya adalah kampung halaman. Sejuknya pagi yang datang diiringi kokok merdu ayam jago yang bersahut-sahutan, jalanan tanpa aspal yang becek ketika hujan tiba (tapi justru itu yang menjadi favoritnya, meski neneknya akan mengomel habis-habisan jika ia pulang dalam keadaan tubuh basah kuyup dan penuh tanah merah), hamparan perkebunan, hijaunya pohon-pohon pinus dan jati yang menjulang teduh, tanah lapang...
Cinta pertama dan satu-satunya yang sampai saat ini tidak pernah berhasil meninggalkan sudut hatinya hanyalah kampung halaman.
Sebuah senyum tipis mengembang di wajah lelaki itu ketika bercerita mengenai menangkap kecebong dan pertarungan layang-layang setiap sore. Lalu melukis. Kali pertama ia memegang kuas dan menyapukan cat diatas kanvas di teras rumah dengan matahari terbenam sebagai objek pertamanya.
Rasanya seperti jatuh cinta, ketiknya semangat. Oranye, merah, dan sedikit semburat keunguan... Hatiku telah terpanah oleh semesta. Dan ketika kau jatuh cinta, yang selanjutnya muncul adalah obsesi. Obsesi yang seiring berjalannya waktu berubah menjadi mimpi; cita-cita.
Kau ingin menjadi pelukis? tanya sang Bunga Matahari.
Lelakj itu menimbang-nimbang untuk beberapa saat sebelum mengetikkan jawabannya. Hm... ya. Jika diizinkan aku ingin kembali ke kampung halaman dan melukis untuk sisa hidupku. Kelihatannya menyenangkan.
Cerita demi cerita terus mengalir dari layar komputer. Tentang objek kedua; seorang gadis yang rambutnya sehitam arang, namun sehalus sutera. Tentang senyumnya dan deretan gigi yang tersusun rapih di balik bibir yang merekah merah. Tentang matanya, manik hitam dengan sorot hangat. Objek kedua. Ciuman pertama.
Pria itu tidak tahu apa yang membuatnya sedemikian terbuka kepada seseorang yang bahkan ia tidak tahu siapa namanya. Tetapi, ia mendapati dirinya terus bercerita.
***
Kesatria Kayu bercerita mengenai cinta. Perempuan itu tidak pernah yakin mengenai definisi dari satu kata tersebut. Apa itu cinta? Apakah itu obsesi, seperti yang dikatakan oleh sang Kesatria? Ataukah itu fanatisme? Rasa tertarik akan sesuatu atau seseorang? Apa yang membuat suatu perasaan disebut 'cinta'?
Cinta adalah konsep yang absurd bagiku, begitu tulisnya.
Aku tidak akan menyangkalnya, cinta memang absurd.
Perempuan itu mengerenyitkan dahinya. Bagaimana kau bisa mengatakan kalau apa yang kau rasakan itu adalah cinta? Apa yang membuat cinta itu... cinta?
Sama seperti sang Kesatria Kayu, perempuan itu pun pernah merasakan jatuh hati. Bedanya, ia tidak pernah yakin apakah perasaan yang ia rasakan ketika ia jatuh hati dengan seseorang itu yang dinamakan cinta.
Orang-orang selalu mengagung-agungkan cinta sebagai sesuatu yang mahadahsyat, sebagai kekuatan yang bisa mengalahkan segalanya, cinta dipuja dan dipuji dimana-mana sampai-sampai memiliki 'hari raya'-nya sendiri setiap tanggal 14 Februari. Sehebat itukah sesuatu yang bernama cinta? Kalau iya, mengapa cinta tidak mampu mempertahankan kedua orangtuanya dari perpisahan? Semudah itukah cinta datang dan pergi?
Pernahkah kau jatuh cinta, Bunga Matahari?
Dengan sebaris kalimat tersebut, perempuan itu tercenung. Pernahkah ia?
Aku tidak yakin... Maksudku, aku pernah menjalin hubungan spesial dengan beberapa lelaki, tapi aku tidak pernah yakin apakah perasaan yang kurasakan bersama mereka adalah cinta
Mereka bilang saat kau jatuh cinta, kau akan jatuh secara harfiah. Tapi perempuan itu tidak pernah merasakan 'jatuh' ketika ia jatuh cinta. Saat bersama kekasih-kekasihnya terdahulu ia memang merasakan sesuatu; senang, bahagia, gembira... Tapi hanya itu. Dan memang itu yang seharusnya dirasakan seseorang ketika ia jatuh cinta, bukan? Jatuh cinta adalah sebuah kebahagiaan, sesuatu yang seharusnya membuatmu melayang terbang bukan sesuatu yang menjatuhkanmu dari ketinggian bintang-bintang di langit dan menghempaskanmu ke darat dengan kekuatan dahsyatnya.
Kalau aku bertanya mengapa kau menyukai lelaki-lelaki yang pernah menjalin hubungan denganmu itu, bisakah kau menjawabnya?
Perempuan itu semakin bingung dengan pertanyaan teman bicaranya tersebut. Itu pertanyaan mudah baginya. Tentu saja bisa, itu mudah. Mereka pintar, mereka selalu berhasil membuatku tertawa, mereka baik, dan mereka tampan.
Ketika jemarinya menekan tombol enter, perempuan itu menyadari sesuatu. Sebentar, mengapa kau menanyakan hal seperti itu, Kesatria?
Ketika kau benar-benar mencintai seseorang, kau tidak akan pernah bisa menemukan alasan mengapa kau mencintai mereka. Kau hanya akan... cinta. Jatuh begitu saja. Tidak ada yang mendorongmu, tapi kau akan tertarik ke dalamnya. Kau tidak akan sadar akan kapan dan mengapa, karena tahu-tahu kau sudag merasakannya. Itu ada di dalam dirimu; mengalir bersama darahmu, berdenyut bersama jantungmu, bernafas bersama paru-parumu
Perempuan itu hanya bisa mengangkat alisnya membaca jawaban sang Kesatria Kayu. Kedengarannya berbahaya, begitu balasnya.
Memang. Saat kau sadar, cinta itu akan menjadi bagian dari dirimu sendiri. Itu sebabnya cinta tidak akan memiliki alasan 'mengapa'. Pernahkah jantung bertanya mengapa dirinya jantung? Pernahkah ia bertanya-tanya mengapa ia harus bekerja keras memompa darah ke seluruh tubuhmu? Atau mengapa ia harus berada di balik tulang rusuk dan bukannya di dalam tempurung kepala? Cinta yang sebenarnya hanya akan ada, Bunga Matahari. Bahkan tanpa perlu kau menyadarinya.
Butuh sedikit waktu bagi perempuan itu untuk mencerna jawaban sang Kesatria. Namun, perlahan tapi pasti, semuanya pun mulai masuk akal.
Hanya ada satu pertanyaan lagi. Lalu ketika cinta memutuskan untuk pergi, apa yang terjadi?
Hanya sebaris kalimat singkat yang dikirimkan oleh Kesatria Kayu sebagai jawabannya.
Bagaimana rasanya kehilangan salah satu organ tubuhmu, Bunga Matahari?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Matahari dan Kesatria Kayu
RomansaSemua hal selalu berasal dari sesuatu yang sederhana.