Senja berikutnya, perempuan itu kembali termangu di hadapan laptopnya dengan kening berkerut serius dan jemari yang tak henti-hentinya menari menekan-nekan setiap tombol keyboard. Sebagian besar layarnya dipenuhi grafik, tabel dan angka-angka yang sudah menjadi makanan sehari-harinya—dan memang itu yang sedang dilakukannya, makan malam dengan semangkuk sereal dan tumpukan laporan yang harus segera diselesaikan malam itu juga.
Di antara lautan angka dan grafik, sudut mata perempuan itu kerap kali tertumbuk pada satu pojok di layar laptopnya; berharap komputer portabel itu akan berdenting memunculkan notifikasi pesan masuk, berharap sang teman bicara akan muncul lagi hari ini. Mungkinkah?
Ding!
Oh, semesta waktumu tidak bisa lebih tepat lagi dari ini. Perempuan itu serta merta meninggalkan pekerjaannya dan membuka notifikasi pesan yang masuk dengan senyum mengembang.
Apakah kau percaya akan adanya benang merah? Hanya itu pesan yang tertulis disana. Singkat dan lugas tanpa ada basa-basi seperti, 'Halo, apa kabar? Apakah kau sedang sibuk?'.
Selayaknya pesan pertama yang memulai kisah mereka, lawan bicaranya ini tampaknya memiliki cara unik untuk membuka sebuah pembicaraan. Rasanya, ia harus mulai membiasakan diri dengan hal tersebut.
Membaca kembali pesan yang terpampang di layar, perempuan itu pun terdiam untuk beberapa saat. Benang merah. Bukannya tidak pernah ia mendengar frasa tersebut selama hidupnya, namun ia masih tidak yakin akan makna dari dua kata tersebut. Tentu saja ia tahu akan sebuah mitos bahwa setiap manusia memiliki sebuah benang merah yang terikat di pergelangan tangan mereka dan dengan satu dan lain cara benang tersebut tersambung ke pergelangan tangan orang lain yang merupakan soulmate mereka. Tapi perempuan itu berpikir, bukankah benang itu akan menjadi sangat kusut dengan banyaknya jumlah manusia yang ada di bumi ini? Atau, mungkin itu yang menyebabkan terjadinya konflik dalam sebuah hubungan resiprokal antara dua manusia—seperti putus cinta misalnya?
Ah, putus cinta. Pengalaman pahit yang pasti dirasakan oleh hampir setiap manusia di dunia ini, tidak terkecuali perempuan itu. Ia ingat terakhir ia putus cinta adalah 5 tahun yang lalu dengan seorang lelaki yang merupakan temannya semasa SMA. Rupanya mereka dipertemukan kembali oleh sang sutradara alam dan digariskan untuk menjalin sebuah hubungan. Namun ternyata hubungan tersebut tidak bertahan lama. Perempuan itu keburu menemukan sang lelaki sedang merangkul mesra perempuan lain suatu hari di sebuah bioskop, dan dengan begitu saja semuanya pun berakhir tanpa bekas.
Mungkin kini benang merah miliknya telah putus dan menggantung tanpa ada seseorang diujung satunya.
Perempuan itu mengetikkan balasan. Aku tidak percaya mitos. Bagaimana denganmu? Kau percaya dengan dongeng-dongeng semacam itu?
Benang merah bukanlah dongeng, kawan. Perempuan itu bersumpah ia hampir bisa mendengar sang teman bicara terkekeh diujung sana saat balasan baru darinya masuk ke dalam notifikasi. Dan ya, aku percaya akan adanya benang merah, tapi bukan berarti aku percaya akan zombie dan sinterklas. Aku percaya bahwa setiap manusia pasti terhubung dengan apa yang disebut orang sebagai jodohnya. Mungkin tidak secara langsung, tapi bagaimanapun bentuknya pasti ada benang merah yang pada akhirnya akan menuntun kedua insan tersebut untuk bertemu dengan satu sama lain.
Soulmate?
Ya... kurang lebih seperti itu. Soulmate. Teman hidup. Kekasih. Apakah kau tidak mengetahui ungkapan bahwa setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan? Kalau bukan karena benang merah, menurutmu bagaimana kita bisa bertemu pasangan hidup kita?
Perempuan itu menggigit bibirnya. Entah kenapa pembicaraan mengenai jodoh ini membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Aku tidak yakin, takdir mungkin. Ia membalas dengan singkat.
Takdir itulah yang disebut dengan benang merah. Aku percaya di tanganku terikat sebuah benang merah yang menghubungkanku dengan seseorang di luar sana yang mungkin akan menjadi pasagan hidupku, aku percaya benang itu yang akan menuntunku untuk menemukannya suatu hari nanti.
Bagaimana kalau benang itu kusut? Ia bertanya lagi.
Idle. Sang lawan bicara tidak membalas apapun selama beberapa menit, tapi tanda profilnya menunjukkan ia masih berada di chatroom tersebut. Sang perempuan menyesap teh hijau di gelasnya, menunggu.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Perempuan itu mulai kehilangan kesabarannya. Ia berusaha fokus pada pekerjaan di sisi layar lainnya, tapi matanya enggan untuk melepaskan pandang dari sudut layar laptopnya.
Empat menit.
Mungkin teman bicaranya sibuk. Atau lupa. Atau pertanyaannya yang terlalu bodoh untuk mendapatkan sebuah jawaban.
Lima menit.
Ding!
Jawaban yang ditunggu akhirnya datang juga.
Aku tidak tahu. Kurasa disitulah Zat yang mengatur seluruh semesta alam ini bekerja. Kau tahu Ia bisa menjadi apapun yang diinginkan-Nya, kan? Mungkin dalam kasus ini Ia akan menjadi sisir yang akan meluruskan benang-benang merah yang kusut itu
Entah mengapa, perempuan itu tersenyum lega saat membaca jawaban dari teman bicaranya tersebut. Buru-buru ia pun melarikan jemarinya di atas keyboard untuk mengetikkan pesan balasan.
Kuharap itu benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Matahari dan Kesatria Kayu
RomansaSemua hal selalu berasal dari sesuatu yang sederhana.