Bintang memeluk kedua lutut dan menumpukan dagu di atasnya. Sambil bersenandung kecil, pandangannya sedetik pun beralih dari cahaya-cahaya mungil di langit malam.
"Bintang kecil, di langit yang biru... amat banyak, menghias angkasa... ak—eh?" Kening Bintang berkerut. "Kok bawa-bawa nama Kak Langit sih?" tanyanya heran pada diri sendiri.
Sepertinya, semenjak insiden "Bintang Jatuh Menimpa Langit" itu, pikiran Bintang selalu terarah pada Langit Angkasa, baik disengaja maupun tidak.
Bintang menggeleng, mengenyahkan sosok Langit dari benaknya. Kemudian ia kembali menatap langit malam yang segelap rambut panjangnya. Gadis itu mengulum senyum, membayangkan wajah ayahnya muncul dalam gulita.
"Ayah, Bintang ketemu sama Langit!" Bintang menyengir lebar, memperlihatkan deretan gigi mungilnya yang rapi. "Awalnya Bintang kesal sama Langit, eh maksud Bintang Kak Langit!" Bintang memukul sekilas bibirnya dengan ringan. Ia merasa telah berlaku tidak sopan dengan menyebut nama seniornya langsung dengan nama.
"Bintang kesal karena Kak Langit jutek banget sewaktu Bintang nggak sengaja bikin dia jatuh. Ekspresinya itu lho, Kak Langit seram banget deh pokoknya. Padahal Bintang udah minta maaf." Bintang mengusap hidungnya yang terasa membeku akibat dinginnya udara malam. "Tapi pas Bintang ketemu lagi, Kak Langit kayak orang yang kesepian gitu. Dia sendirian, Ayah. Mungkin dia nggak punya teman, ya? Habisnya, dia galak!" Bintang menghela napasnya. "Tapi Bintang penasaran. Tapi Bintang lebih nggak mau dianggap kecentilan!" gerutunya, cemberut.
Ketukan lembut di pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya dari langit malam. "Ya, Bun?" Ya, siapa lagi yang mengetuk pintu dengan lembut seperti itu selain bundanya?
"Tidur, Sayang. Besok Bintang nggak mau terlambat, kan? Jangan terlalu lama di luar, angin malam nggak baik untuk kamu. Lekas cuci muka dan gosok gigi, ya."
"Iya, Buuun," jawab Bintang lantas kembali tersenyum pada langit. "Bintang mau bobo ya, Ayah? Ayah tetap jagain Bintang di sana."
Gadis itu berlalu kembali masuk ke dalam kamar lantas menutup jendela besar yang beralih fungsi sebagai pintu ke arah balkon.
***
"Kamu boleh sesuka hati bersikap pada saya, tapi ingatlah Langit, kamu masih berpangku tangan pada saya. Saya yang membiayai kelangsungan hidupmu. Masa depanmu. Tanpa saya, kamu tidak akan setinggi namamu," ujar seorang pria yang terduduk di sofa single miliknya.
Serupa, tapi tak sama. Itulah kalimat yang pantas untuk keduanya. Ketampanan pria itu banyak mewarisi Langit sehingga pemuda tersebut memiliki perpaduan yang tampak sempurna.
Langit tersenyum sinis. "Dengan senang hati saya pergi dari sini kalau Anda merasa terbebani," balas Langit dengan bibir menipis, kemudian ia mengerling tajam. "Dasar perhitungan!"
Pria itu menatap punggung anaknya yang berlalu dengan nelangsa. Hatinya teriris perih mengingat setiap kata tajam yang keluar dari bibir Langit. Tidak ada lagi senyum bahagia menyambut kedatangannya. Tidak ada lagi kalimat-kalimat rindu yang membuatnya ingin cepat-cepat pulang ke rumah, bermain dengan anak-anaknya.
Patah. Hancur. Redup. Segala kerusakan telah menyelimuti keluarganya. Bahu yang selalu tegap itu kini terkulai tak berdaya. Ia merindukan masa lalunya. Kebahagiaannya.
***
Pertengkaran kemarin ternyata menghancurkan suasana hati Langit hingga sekarang. Kali ini berbeda, langit cerah di atas seolah mengkhianati perasaan mendung sang Langit hari ini.
Langkah Langit yang panjang tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai ke halaman belakang. Lagi-lagi ia ingin sendiri. Menenangkan pikiran di balik pohon besar, tempat paling aman untuk tidak diketahui siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lagu Untuk Bintang
Novela JuvenilPemenang Wattys 2017 Kategori "The Breakthroughs" Sebut saja Bintang, gadis mungil yang mempunyai banyak mimpi. Rasa cintanya pada musik telah mendarah daging, sampai sebuah kenyataan membuat mimpinya runtuh. Bukan hanya pesan dari mendiang ayahnya...