"Saatnya berangkat, Harry," Sirius memeluk putra baptisnya dan menepuk kepala anak lelaki berusia 11 tahun itu.
"Sirius... apa aku bisa masuk Gryffindor? Sepertimu atau Remus?" tanya anak bermata hijau cemerlang itu.
Sirius tersenyum, "aku yakin, Harry. Darah Gryffindor mengalir kental dalam tubuhmu," kata pria berambut hitam gondrong itu, "nah—ayo masuk ke kereta! Lihat, Ron sudah melambai padamu dari dalam."
Harry berpaling ke arah kereta Hogwarts Express, ada seorang anak laki-laki berambut merah sebayanya yang sudah melambai-lambai semangat. Ron Weasley, sahabatnya dari keluarga Weasley yang sudah dianggap Harry sebagai keluarga keduanya setelah Sirius, ayah baptisnya.
"Oke. Aku pergi dulu. Jangan lupa tulis surat padaku!" Harry memeluk Sirius sekilas sebelum akhirnya naik ke kereta menuju ke kompartemen dimana Ron berada.
"Lama sekali kau, Harry. Bicara apa dengan Sirius?" tanya Ron.
"Tak ada. Hanya salam perpisahan saja," Harry duduk di depan Ron. Dia lalu memandang ke luar jendela, masih dia lihat Sirius berdiri di antara para orang tua murid lain. Harry melambaikan tangan saat kereta itu mulai berjalan.
"Akhirnya kita masuk Hogwarts juga," kata Ron, "Kasihan Ginny, harus sendiri di rumah."
"Yeah , tapi tahun depan dia masuk Hogwarts juga kan?" Harry menurunkan tangannya saat sosok Sirius sudah tak terlihat lagi olehnya.
Koridor kereta masih dipenuhi anak-anak yang berlalu lalang mencari kompartemen kosong. Tak jarang di antara mereka melirik bahkan memandang Harry seperti melihat benda langka.
"Tuh kan... mulai lagi," Harry membenahi kacamatanya dan menata poninya supaya menutupi bekas luka berbentuk sambaran petir yang menjadi trademark-nya. Lambang yang menjadi bukti nyata kejatuhan penyihir terkejam sepuluh tahun yang lalu.
Ron terkekeh, "rasakan! Itu akibatnya kalau jadi orang terkenal."
"Bukan mauku!" Harry kali ini sebal benar pada rambutnya yang susah ditata, tapi dia tidak bisa protes, karena itu adalah mutlak berasal dari gen ayah kandungnya yang juga berambut hitam berantakan sepertinya.
"Terima nasib saja, Harry. Seluruh orang di dunia sihir tahu siapa kau. The-Boy-Who-Live. Kau mengalahkan Voldemort, Harry. Dan itu saat kau masih bayi," tetap saja ada nada kagum dari Ron meski Harry sudah sering mendengarnya bicara seperti itu sejak pertama mereka bertemu empat tahun lalu.
Harry tak mau berkomentar, karena dia sendiri tidak pernah mengerti, kenapa bisa, dia yang cuma bocah berusia satu tahun bisa menghindar dari kutukan kematian bahkan membuat kutukan itu memantul pada perapalnya yang tak lain adalah Voldemort sendiri dan akhirnya binasa karena serangan yang berbalik arah itu.
Saat koridor mulai sepi, ada seorang anak lelaki yang berdiri di pintu kompartemen mereka. Harry dan Ron memandang sosok berambut pirang platimun, berkulit pucat dan bermata keabuan itu. Dari pakaian yang dia kenakan, bisa diketahui dengan pasti kalau dia berasal dari keluarga berada.
"Keberatan kalau aku di sini? Yang lain sudah penuh," kata anak laki-laki itu.
"Ya, tak masalah. Masuklah!" Harry menggeser duduknya.
Anak itu meletakkan tasnya di rak atas dan duduk di sebelah Harry, "namaku Malfoy. Draco Malfoy."
"Hai. Aku Potter. Harry Potter. Dan ini Ronald Weasley."
Anak itu tak tampak terkejut mendengar nama Harry Potter, membuat yang bersangkutan bingung, tapi senang.
"Malfoy... tunggu dulu. Kau bukan anaknya Lucius Malfoy, kan?" Ron memandang Draco dengan was-was.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possesive Side (complete)
FanfictionAuthor Aicchan Saatnya untuk menunjukkan kesungguhan didepan keluarga. Apa yang akan terjadi? WARNING : beberapa chap akan di privat