Out of the circle

16 1 0
                                    

Ardiyan POV...
"Nomor yang anda tuju sedang diluar jangkauan.."
kalimat ini sudah saya dengar tiga kali. Begitu touch down Palembang, saya langsung menghubungi ponsel Rena. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Saya jadi khawatir. Mungkin dia sangat marah dan memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan saya.
Wah, jadi stres saya dibuatnya. Saya juga menyesal mengapa jadinya begini. Tapi, saya tidak boleh menyerah. Kemarahan Rena ini di kemudian hari akan berubah menjadi senyuman. Dia akan berterima kasih kepada saya karena sudah menghujaninya dengan cinta yang amat banyak. Rena tidak akan pernah menyesal karena memiliki saya. Sekarang yang harus saya lakukan adalah fokus pada pekerjaan ini. Semakin cepat selesai semakin baik.

Kriiing.. Kriiing.. telpon dikamar hotel ini berbunyi nyaring. "Hallo?"
"Hallo, selamat malam, pak Ardiyan. Anda ditunggu oleh Nona Fanya di lobi hotel. Dia bilang sudah bikin janji dengan bapak". Oh ya Fanya, jadi dia benar datang. Dia adalah anak dari bos saya. Malam ini saya tidak bisa bertemu langsung dengan si Bos, jadi dia mengutus anaknya. "Oke, saya akan segera turun".

Saya menyemprotkan sedikit parfum agar memberikan kesan sebagai laki laki yang peduli akan penampilan. Saya harus kelihatan menarik dan berwibawa jika berhadapan dengan atasan. Setelah yakin semuanya oke, saya turun ke lobi menggunakan lift.

Dari kejauhan saya bisa melihat seorang gadis manis, wajahnya terlihat seperti berumur 29 keatas, namun tubuhnya mungil, montok, dia mengenakan dress berwarna coklat, dia duduk di lobi hotel dengan sangat canggung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari kejauhan saya bisa melihat seorang gadis manis, wajahnya terlihat seperti berumur 29 keatas, namun tubuhnya mungil, montok, dia mengenakan dress berwarna coklat, dia duduk di lobi hotel dengan sangat canggung. "Nona Fanya?" tanya saya sopan. Dia mengerutkan dahi, lalu memaksakan tersenyum. "Ardiyan dari Yogyakarta? Silahkan duduk".

"Bagaimana kalau kita mengobrol di restoran hotel saja, biar lebih santai?".
Kalau saya tidak salah, akan ada banyak hal yang harus dibicarakan dengan nona fanya ini. Mungkin akan memakan waktu dua sampai tiga jam. Tapi, kening nona ini semakin berkerut. Saya jadi takut kalau dia berfikir saya akan macam macam atau merayunya. "Maaf nona, jangan salah paham. Saya rasa kita tidak perlu terlalu formal, disamping itu saya juga sedikit lapar".
Saya mengelus elus perut saya. Saya memang tidak berdusta. Saya lapar dan butuh makan. "Baiklah" katanya dengan ekspresi yang tidak bisa dibilang ramah. Ya Tuhan, ketus sekali.
​Dia mengikuti saya dibelakang. Begitu masuk ke restoran, saya memilih tempat yang agak privacy agar pembicaraan kami berlangsung santai. Seorang pelayan menghampiri kami dengan membawa buku menu. "Silahkan tuan, mau pesan apa?"
"Apa yang enak?"
"Menu andalan restoran kami adalah Nasi goreng lidah sapi"
"Oke, saya coba itu saja. Dan air mineral ya. Bagaimana dengan anda nona fanya?" dia kelihatan kaget. Saya jadi penasaran kenapa ia sangat tidak nyaman. "Saya pesan kopi saja, yang panas." Jawabnya cepat. Si pelayan meninggalkan kami berdua. "Jadi, anda baru tiba dari yogyakarta sore tadi?" dia memulai pembicaraan. "Ya, saya baru tiba sore tadi. Lalu sekretaris ayah anda bilang bahwa dia sudah memesan kamar untuk saya dihotel ini. Karena proyek ini akan makan waktu berbulan-bulan, saya akan mencari kontrakan. Tidak mungkin kan saya tinggal dihotel selama berbulan bulan. Apa anda tahu dimana saya bisa mendapatkan kontrakan untuk tempat tinggal?"

saya memperhatikan dia. Si fanya ini memang sangat cantik. Rambutnya coklat bergelombang dibiarkan terurai, kulitnya kuning langsat. Bibirnya tipis. Matanya bulat, indah. Tapi sayang, dia jutek dan ketus sekali. Dia bukan orang yang pandai beramah tamah. Saya jadi gerah melihatnya. Saya jadi ingat kepada Rena yang selalu tersenyum manis. Tidak pelit membagikan senyumnya, bikin hati saya adem. "Jujur saja, ini adalah pertama kalinya saya ke kota palembang. Saya kesini juga atas permintaan papi saya. Ada beberapa berkas yang harus saya berikan secara langsung kepada anda. Dan beberapa pesan dari papi yang harus saya sampaikan. Urusan rumah kontrakan, saya akan minta sekretaris saya untuk mencarikannya buat anda".

To do point sekali. Dia menyerahkan berkas berkas yang harus saya pegang dan pelajari. "Disana semua diterangkan secara jelas dan terperinci. Jika ada yang masih belum dimengerti anda bisa hubungi saya melalui sekretaris saya".
"harus selalu melalui sekretaris anda?" lancang sih saya. Tapi mau bagaimana, gadis ini bossy sekali.
"Ya" jawabnya dingin.
Tatapannya tajam menusuk, menyiratkan dia sangat tidak suka dengan kelancangan saya. Saya kira saya akan ditemani partner yang enak diajak bicara, kalau partnernya macam mak lampir ketus begini, menyesal juga saya berangkat ke Palembang. "Baiklah. Saya paham". Saya mengalah saja. Toh dia Cuma rekan bisnis. Urusannya semata mata untuk pekerjaan.

Seorang pelayan datang lagi mengantar pesanan kami. Fanya diam saja tidak berkata apa-apa. "Mari makan" saya sedikit berbasa basi. Tidak enak rasanya makan sendirian. Dia meminum kopinya seteguk dua teguk. Lalu, "Saya pamit. Masih ada urusan. Besok pagi sekretaris saya akan menjemput anda. Terimakasih atas waktunya Pak ardiyan". Dia berdiri dari kursinya, memaksa untuk tersenyum lalu pergi begitu saja. Alangkah! Saya bahkan belum sempat berkata apa-apa, dia sudah berlalu. Wanita ini dingin sekali. Saya masih termangu mangu dibuatnya. Benar benar penyambutan yang hangat.
***

Wah gimana nih, cocok gak yaa theo james memerankan tokoh sebagai ardiyan? Hohohoho 😱😝😝

I Behind YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang