Prolog

29 4 2
                                    

Sang mentari yang baru terbangun dari cakrawala terpanggil untuk menyinari dunia utara yang akan diselimuti es dan salju itu.

Burung-burung yang pergi bermigrasi meninggalkan para Phoenix sendirian untuk tetap menghangatkan wilayah Faëldorg yang nyaman. Bersuara memanggil sang mentari.

Suara aduan dari dua bilah pedang pun ikut ambil bagian dalam menyambut sang cahaya.

Suara yang dibunyikan oleh kedua saudara kembar itu menggoyangkan semua embun pagi buta disekitarnya, membangunkan setiap orang dikerajaannya.

"Ya!!" Suara terbenturnya pedang akibat pelintiran dari pedang lainnya mengikuti suara kemenangan dari Aurum Killbojrn, kembaran perempuan dari Arman.

Arman yang tersungkur ketanah dengan hunusan sebilah pedang tajam didepan matanya.

"Sampai kapan aku akan selalu menang darimu adikku!" Seru Aurum menarik tangan Arman.

"Sampai aku berhasil mengalahkanmu tentunya!" Jawab Arman.

"Haha lucu sekali. Tetapi kali ini aku serius Ar!"

"Ya... Aku juga. Memangnya aku salah Aurum?"

"Aku tidak habis pikir ya. Bagaimana bisa para elf itu menempatkan namamu di Axcello. Jangan salah sangka, hanya saja.... kau.. Bukannya aku iri atau tidak terima... Hanya saja..."

"Ya Aurum. Aku mengerti. Kau tak perlu menjelaskannya setiap kali kau mengalahkanku!" Arman memasukan pedangnya kedalam sarung pedangnya.

"Aku hanya berusaha untuk menyadarkanmu akan tanggung jawabmu yang besar nanti" Aurum menepuk pundak Arman dan berjalan memasuki istana.


Didalam istana megah Faëldorg, tepat dijantung istana disanalah tempat peristirahatan dari Axcello yang agung.

"Coba kau lihat dia Ar!

Suatu hari, saat kau menjadi raja, dan kau akan memegang penuh kekuasaan seluruh kerajaan, juga Axcello. Dan tidak mungkin aku akan membiarkan kau dengan kelemahanmu saat ini memimpin Faëldorg kelak" Jelas Aurum.

"Ya... terkadang aku juga berfikir seperti itu. Mengapa bukan kau saja yang menjadi pewaris?" Arman menatap Aurum penuh tanya.

"Oh ayolah. Kita semua tidak ada yang tahu pasti siapa yang kakak atau adik. Lagipula kita hanya berselang 2 menitkan! Tak masalah bagiku...." Aurum mulai berjalan meninggalkan ruangan itu.
"Bicara adik kakak, dimana Rhanduïl?"

***

Dinaungan pohon willow besar, merebahkan punggungnya, dengan membiarkan rambutnya terbang tertiup angin musim dingin. Menutup matanya menenangkan.

"Rhanduïl!"

Dia membuka mata hazelnya yang mampu meluluhkan hati setiap gadis yang melihatnya. Memutar balikkan kedua pupilnya tanda malas.

"Rhanduïl! Apa kau tidak merasa dingin sedikitpun?" Arman dan Aurum menghampiri Rhanduïl yang masih duduk manis dibawah pohon willow itu.

"Untuk apa aku butuh kehangatan dari api, jikalau dalam diriku sudah tersimpan api amarah yang membara dengan liarnya!"

"Maksudmu? Apa kau marah kami ganggu. Apa kau sakit adikku?" Aurum memegang tangan Rhanduïl.

"Tak apa-apa Aurum. Hanya ingin sendiri saja saat kalian datang dan menggangguku!" Sindir Rhanduïl menarik tangannya dan memalingkan wajahnya.

"Kau ini memang sombong sekali! Aurum cemas karenamu, tetapi kau justru bersikap apatis seperti itu! Sungguh kau keterlaluan!" Cetus Arman tak terima Aurum diperlakukan begitu.

"Sudahlah Ar! Tak apa"

"Menurutmu siapa kau berani melakukan itu pada Lady of the Star, kau putra pengasuh!" Ketus Arman tak mendengarkan kata-kata Aurum.

"ARMAN!!

JAGA BAHASAMU!!" Geram Aurum.
"Beraninya kau mengatakan hal itu terhadap adikmu sendiri!"

"DIA BUKAN ADIKKU AURUM!" Cekat Arman

"Dia putra Fangard! Ayah kita!" Seka Aurum.

"Tetapi bukan putra Ibunda kita Varda!" Sela Arman tak mau kalah.

Aurum menggeleng tak menyangka Arman berani mengatakan hal itu didepan Rhanduïl

"Ibu Varda sudah tiada Arman. Dia menyerahkan hidupnya saat melahirkan kita. Dan Ibu Eolynda yang membesarkan kita. Apa kau tak sayang padanya!" Kesal Aurum.

"Tidak sedikitpun. Hanya Ibunda Varda ibundaku! Tak ada lagi...."ucap Arman meninggalkan mereka.

Tangan Aurum mengepal kesal. Terlihat dimatanya yang nanar, menatap dengan penuh kebencian, kedengkian yang cukup mendalam, tetapi.... dia Arman-ku, saudaraku.

"Jangan sampai aku lepas kendali" batinnya.

"A...aku... Maafkan aku Rhanduïl. Aku tak berhasil mengajarkannya hal yang benar. Amarahnya.... hanya amarah yang tak kuasa ku kendalikan" Mata lembayung yang terkatup itu kini tak kuasa menahan air matanya yang sudah membendung di kelopak matanya.

Tetapi sebuah telapak tangan yang terbalut kain itu dengan tulusnya tidak membiarkan setetes air mata Sang Shymbeldrose itu menghujani tanah dunia utara tersebut.

Perlahan tapi pasti, mata lembayung itu kembali terbuka. Dan ditatapnya wajah Rhanduïl yang kosong tanpa senyum itu didepannya.

"Aku mohon kakakku sayang. Jangan pernah menitihkan air matamu lagi. Setiap tetes air mata seorang wanita yang disebabkan oleh seorang pria baginya adalah dosa disetiap langkahnya.... " Tangan yang menadah air mata Aurum itu menggenggam kuat dan meresap kedalamnya.

"Ayolah kak! Aku mungkin tak bisa membuatmu bahagia, tapi aku tahu sebuah tempat dimana kau bisa tersenyum damai" Rhanduïl memberikan tangannya kepada Aurum.

Senyum kecil pun mulai terlihat diwajah manis kakaknya itu. Ia pun mengambil uluran tangan Rhanduïl.

Rhanduïl menutup kedua matanya, kemudian daun-daun pohon willow yang menggantung mulai bergerak teriup angin seiring dengan daun-daun yang berguguran mengelilingi mereka dari bawah hingga atas.

Saat angin mulai berhembus kearah atas seiring dedaunan itu, seiring jua mereka hilang....

Sword Of The ArcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang