Chapter 1

23 2 0
                                    

Langkah kakinya yang sedikit dihentak dari biasanya menandakan kemarahannya.

Suaranya semakin jelas mengarah ke jantung istana.

Seorang wanita anggun berdiri disana menatap sayu kearah Axcello. Disebuah ruangan yang hanya bercahayakan sebuah jendela sedang membiaskan cahaya mentari pagi yang langsung mengenai surai ikal hitamnya, menerpa setiap manik dirambutnya.

"Kenapa kau marah Arman?" Tanyanya dengan suara yang agak serak.

"Jawabanku adalah pertama karena putramu, dan yang kedua adalah kehadiranmu disini Eolynda. Kenapa kau menatap kearah Axcello-ku?

Apakah kau sedang membayangkan saat Rhanduïl diangkat sebagai raja dan memakai pedang itu!

Uuhhh.... Teruslah bermimpi Eolynda! Itu tak kan pernah terjadi!" Arman meninggalkan ruangan tersebut juga Eolynda dalam renungannya.

"Aku yang membesarkannya Var! Sudah kuanggap sebagai putra sendiri. Entah sampai kapan ia akan menyadari bahwa kau sudah tiada...." ucap Eolynda pelan, bahkan sampai tak terdengar.

***

Arman berjalan dengan angkuhnya menuju kesebuah ruangan yang berada tak jauh dari jantung istana.

Mengabaikan setiap pelayan yang menunduk disepanjang jalannya. Bahkan menghempas 2 prajurit yang melarangnya untuk masuk kesebuah ruangan.

Ruangan yang gelap, hampir tak ada cahaya yang masuk. Sunyi, hanya suara bandul denting dari jam besar hitam yang ada disana, juga hembusan nafas lemah dari seorang pria tua berambut putih dengan wajah keriput didaerah mata yang sedang duduk tertidur dikursinya.

"Ayah! Jikalau kau mendengarku, aku ingin bertanya kepadamu!" Suara Arman memecah keheningan dan kedamaian ruangan itu.

Perlahan mata tua rabun itu terbuka menatap kosong kearah langit-langit.

"Kau memarahi Rhanduïl dan bertengkar dengan Aurum. Dan... membentak Eolynda...." jawabnya dengan suara serak dan sangat lemah.

"Ya....iya... Iya! Kau tau kenapa! Karena..."

"Karena Rhanduïl bersikap tidak baik pada Aurum dan Eolynda memandang kearah pedang itu... Ya kan.." potong Fangard. Arman hanya bisa menganga saat ayahnya mengatakan semua itu.

"Apa aku benar Arman!" Fangard agak menegaskan suaranya dan bangkit lalu menghempaskan jubah abu yang dikenakannya.

"Ayah aku...." Fangard menahan Arman untuk berbicara.

"Itu sudah hampir setiap hari kau selalu bertengkar dengan mereka! Dengan alasan yang sama!
Hhhhhhm..... Arman.
Waktuku sudah tak lama lagi dan kau akan menjadi pewarisku, kau akan memegang kuasa atas semuanya.
Kau akan memerintah atas segalanya, kerajaan, Axcello, bahkan Rhanduïl dan Eolynda. Tetapi ingat! Kau tidak berhak memerintah hak atas Aurum.

Kau harus belajar menjadi seperti itu putraku.
Arif, bijaksana, sabar, penyayang, kuat, dengan begitu Axcello akan mengukirkan namamu saat aku mengangkatmu menjadi raja.

Seperti layaknya ibumu yang namanya masih terukir jelas di bilahnya! Apa kau mengerti Arman....." ucapnya serak seraya batuk beriak.

"Aku mengerti ayah, tetapi....." Fangard memegang dadanya yang terasa sakit pada saat batuk menahan sakit. Ia jatuh, mukanya pucat.

"Ayah! Ayah ayolah. Berbaring di tempat tidurmu!" Arman membantu mengangkat ayahnya menuju tempat tidur, tetapi sang raja hanya ingin duduk di kursinya.

"Ayah. Aku mohon ayah harus berbaring"

"Tidak nak! Uhuk... uhuk! Itu akan menambah rasa sakitnya!" Arman pun mendudukan ayahnya dikursinya dan mengambilkan air hangat untuk minum, juga mengambilkan selimut untuknya.

Sword Of The ArcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang