7. Huru-Hara Di Alazar

156 10 0
                                    

Beberapa hari kemudian, Nenek Frida dan Amelia tiba di Zania. Tabib Fakir menyambut kedatangan mereka dengan rasa bahagia. Apalagi mereka berhasil membawa pulang kulit Pohon Orka.

"Bagaimana kalian mendapatkannya?" Ia seolah masih tak percaya.

"Itu mudah saja." Nenek Frida tersenyum pada Amelia. Mereka lalu menceritakan pengalamannya di Pulau Samora pada Sang Tabib.

"Wow, aku benar-benar tak menyangka bila disana ternyata berdiri kerajaan kera," kata Tabib Fakir.

"Sekarang bisakah kau mulai bekerja?" pinta Nenek Frida.

"Jangan khawatir, Nek. Serahkan semuanya padaku."

Siang dan malam, Tabib Fakir sibuk meracik bahan-bahan pilihan. Kali ini ia akan membuat suatu ramuan yang sangat istimewa. Jadi ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Hingga pada suatu pagi, Amelia dan Nenek Frida terbangun dari tidurnya ketika Tabib Fakir berteriak-teriak memanggil mereka. Cepat-cepat mereka menuju ruang kerja Sang Tabib. Disana mereka melihat sebuah bola yang bersinar-sinar sedang melayang-layang di ruangan tersebut. Benda itu memang terlihat cukup menarik.

"Lihat apa yang baru saja kubuat!" seru Tabib Fakir.

"Maaf," kata Amelia. "Bukankah seharusnya kau membuatkan obat penawar untuk Groll?"

"Ya, dan inilah hasilnya. Sebutir pil ajaib!" Tabib Fakir menunjuk bola yang bersinar-sinar itu.

Nenek Frida meraih pil ajaib itu dan mengamatinya. "Mengagumkan sekali. Kurasa pil ini benar-benar berkhasiat," katanya.

"Tentu saja," sahut Tabib Fakir. "Kita harus berusaha agar Sang Naga menelan pil ini."

"Gampang," celetuk Puri. "Ini seperti memberi makan ayam, kan?"

"Hei, tidak ada yang meminta pendapatmu, kucing sok tahu!" Tabib Fakir sewot.

"Kita akan memikirkan caranya," kata Nenek Frida. "Sekarang kita harus pulang secepatnya ke Alazar."

"Kalau begitu aku akan ikut dengan kalian." Tabib Fakir bergegas mengambil sesuatu dari dalam gudang. Kemudian ia keluar dengan menenteng sebuah sapu. Diucapkannya kata "Terbang!" dan sontak sapu itu mengambang di udara.

"Wow! Sapu terbang!" seru Amelia, kagum. "Dari mana kau mendapatkannya?"

"Ini sapu terbang milik buyutku," kata Tabib Fakir. "Memang sudah lama tidak aku gunakan. Tapi kurasa kemampuan terbangnya masih cukup bagus."

Sementara itu, perburuan terhadap Naga Ungu masih terus berlanjut. Ratusan manusia tangguh dari berbagai penjuru Bumi Raya telah ikut serta dalam perburuan tersebut. Namun tak ada satu pun di antara mereka yang sanggup menaklukkan naga raksasa tersebut.

Hingga akhirnya munculah seorang ksatria bernama Atreon yang sangat berpengalaman dalam menaklukkan monster raksasa. Berbekal tombak baja keramat warisan leluhurnya, ia berniat untuk menaklukkan Naga Ungu sekaligus memenangkan sayembara tersebut. Atreon kemudian membuat pelontar tombak di sebuah menara yang cukup tinggi. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menyerang makhluk bersayap itu.

Saat-saat yang dinantikannya akhirnya tiba. Suatu ketika, Atreon melihat Sang Naga terbang melintas tak jauh dari menara. Segera saja Atreon mempersiapkan tombak andalannya beserta pelontarnya. Dengan cermat, ia membidik sasarannya, lalu dengan sekuat tenaga, ditembakkannya tombak besar tersebut ke arah Sang Naga. Senjata itu meluncur dengan deras, dan langsung tepat mengenai sasarannya. Sontak naga raksasa itu tak berkutik dan jatuh ke bawah dengan kerasnya. Setelah diketemukan, makhluk itu sudah tak bergerak sama sekali.

Kejadian tersebut segera diketahui oleh Raja Alazar. Sang Raja langsung memerintahkan bala tentaranya untuk membawa tubuh Naga Ungu ke istana. Atreon, sang penakluk, juga diminta untuk menghadap Sang Raja.

Sahabat Dari HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang