1✔

1.8K 102 3
                                    

Revisi

Selamat membaca❤
---

Malu-malu surya merangkak dari balik perbukitan. Bias-bias cahaya memantul dari balik kaca tanda pagi telah datang diiringi kicauan merdu dari para burung.

Vianna Harlina. Gadis bersurai hitam legam itu terbangun dari tidurnya. Perlahan ia beranjak menuju cahaya di balik tirai jendela. Dengan sekali gerakkan ia menyibak tirainya membuat cahaya itu masuk dan mengenainya.

Hanya sesaat.

Hanya berdiam sesaat sebelum ia pergi untuk membasuh tubuhnya.

Butuh waktu 45 menit untuk bersiap. Tak ada lagi piyama, melainkan seragam putih abu-abu lengkap dengan aksesorisnya. Anna mematut dirinya di depan cermin. Rambut panjang hitamnya di tarik ke belakang membentuk satu cepolan kuda.

Sesimpel itu.

Dan ia sudah benar-benar siap.

Dengan langkah santai ia berjalan menuruni anak tangga. Hingga akhirnya, kedua kaki itu berhenti tepat di anak tangga terakhir.

Sepi dan sunyi.

Tak ada siapa-siapa.

Ia tersenyum kecut. Ini sudah biasa baginya, tinggal sendirian di rumah yang cukup besar.

Di mana keluarganya?

Ibunya sudah meninggal ketika ia masih kecil. Ayahnya tipe workholic, terlalu sibuk bekerja sampai-sampai lupa jika ia meninggalkan satu anak perempuannya di rumah. Saudaranya? Mengikuti jejak ayahnya.

Kadang Anna bahkan menganggap semua keluarganya sudah mati dan hanya menyisahkan dirinya.

Untuk apa ada Ayah dan Saudara jika tak pernah ada untuk dirinya? Mereka hanya sebatas bayang yang tak dapat Anna raih. Itu anggapannya.

Dengan terburu-buru Anna melahap sehelai roti dan segelas susunya. Ia tak mau berlama-lama mengingat kepedihan hidupnya.

●●●

Ramai.

Begitulah. Keadaan sekolah memang berbanding terbalik dengan keadaan rumahnya. Dan, Anna benci itu. Anna benar-benar membenci keramaian.

Ia terus berjalan tanpa mempedulikan bising-bising tapak kaki maupun suara dari para siswa yang berlalu lalang. Ia benar-benar menutup diri dari keadaan sekitar.

"Pagi!" Sapa seorang gadis yang tak dikenal Anna.

Anna hanya menatap gadis itu sebentar dan berlalu pergi. Jangan harap akan ada sapaan balasan apalagi senyuman, Anna tak akan pernah melakukan hal itu. Senyum gadis itu meluntur menatap punggung Anna yang perlahan menjauh.

Kecewa? Tentu saja. Tak ada orang yang tak akan kecewa menerima perlakuan Anna.

Setiap hari, setiap kaki Anna melangkah, di sana pula akan ada ratusan mulut yang berbisik-bisik bergosip. Tentu dengan Anna yang menjadi tokoh utama.

Sikap Anna yang dingin dan tak peduli itu membuatnya dibenci seantero sekolah. Tindakan Anna? Tidak ada. Ia bahkan tak peduli jika ratusan mulut itu berbusa akibat mengoloknya. Toh, itu mulut mereka.

Kelas sudah ramai begitu Anna masuk dan segera mendaratkan bokongnya di salah satu kursi di pojok kelas. Ia mengambil satu buku bersampul hitam dari dalam tasnya.

BEKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang