3✔

1K 72 0
                                    

Revisi✔

Selamat membaca❤
---

Anna terkejut bukan main ketika melihat Vita terkulai lemah di lantai, menangis sambil memegang beberapa rambut miliknya. Bekas rambut yang dipotong.

Tetapi, ada yang lebih membuat Anna terkejut. Bukan Vita, tetapi cowok yang berada di dekatnya.

Itu, Daniel.

Tanpa banyak bicara Anna segera mendekat dan meraih kerah Daniel membuatnya berdiri. Kilatan mata Anna penuh dengan amarah serta keinginan untuk meludahi cowok yang berani melukai sahabatnya.

"Apa yang lo lakuin ke dia?!" Teriakan pertama dan ekspresi pertama yang akhirnya ia tunjukkan pada orang lain.

Daniel yang awalnya diam akhirnya ikut tersulut emosi karena Anna telah menuduhnya. Ia menepis kasar tangan Anna. "Kalo lo gak tahu apa-apa lebih baik lo diam." Bentak Daniel keras.

"Bukan dia pelakunya, Anna."

Anna yang mendengar suara Vita akhirnya memilih mendekat. Gadis itu terlihat berantakan dan juga ketakutan. Rambut yang awalnya panjang itu kini telah dipotong hingga ke bahunya.

"Siapa?" Tanya Anna penuh penekanan.

"Li..za." Jawabannya sukses membuat wajah Anna berubah menjadi merah padam. Ia mengepal tangannya kuat-kuat tandanya ia benar-benar marah.

Daniel yang melihat itu pun akhirnya berjalan mendekati Anna dan menepuk bahu Anna dua kali. "Lebih baik lo bahwa dia pulang." Ucapan Daniel membuatnya tersadar.

Tanpa berpikir dua kali Anna membopong tubuh lemah Vita dibantu Daniel menuju mobilnya.

***

10 menit berlalu Anna duduk terdiam dengan mata tertutuju pada sosok gadis yang tengah tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Vita memintanya untuk tidak membawanya pulang dengan alasan takut membuat ibunya khawatir.

Anna memperhatikan wajah sahabatnya yang tertidur pulas. Matanya membengkak dan rambut panjang hitam yang begitu dibanggakannya kini terpotong hingga mencapai bahunya.

Emosi Anna kembali naik begitu mengingat kejadian yang menimpa sahabatnya. Tangannya terkepal hingga membuat buku-buku tanganya memutih. Tiba-tiba ia berlari meninggalkan Vita dan pergi ke taman di belakang rumahnya.

Ia berhenti di sudut taman. Tangannya masih terkepal. Matanya memerah memancarkan kilatan emosi yang tertahankan.

Anna tak pernah semarah ini. Sama sekali tak pernah setelah beberapa tahun yang lalu. Ia menghirup napas panjang dan membuangnya kasar.

"Tenang. Tenang Anna." Ucapnya begitu pelan.

Anna kembali mencoba menetralkan emosinya agar tak membludak. Ia akhirnya berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di balik tangan.

Selalu begini.

Anna selalu menyembunyikan diri dari siapa saja, begitu pula dengan sahabat-sahabatnya. Dia tidak mau membagi perasaannya kepada orang lain. Dan ketika dia sedih ataupun marah, bukan Ayah ataupun kakaknya yang ia cari.

BEKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang