More Than Words

10.4K 280 10
                                    


Musuh terkejam bisa muncul dalam diri siapa saja, termasuk sahabat. Dan orang-orang terdekatmu.


"Lo bisa gak sih gak usah cari cari perhatian ke pacar gue?"

"Hah? Caper? Gak salah denger nih?"

"Gak, sama sekali. Lo dengerin ya, Kin. Lo itu caper pake banget ke pacar gue! Sadar diri dong!"

"Heh, pacar lo tuh yang kegatelan. Mata kemana-mana jelalatan. Lo gak liat apa gue diem aja kalo di kantor? Takut banget sih pacarnya direbut. Gue juga ga napsu kali."

Setelah perdebatan alot, aku langsung keluar ruangan yang mendadak jadi panas. Mungkin gara gara suara Oliv yang melingking buat AC di kantor menciut, enggan ngeluarin udara dinginnya. Aura panasnya Oliv buat global warming juga kali, ya? Eh, yang gila dia atau aku sih?

Dia, Olivia Ratuwibawa. Mendengar namanya saja aku sudah muak. Sebenarnya, dia adalah teman kuliahku saat mengemban ilmu bisnis bersama-sama di Univeristy of West London, dan kebetulan, kami juga melamar pekerjaan di perusahaan yang sama. Awalnya semua lancar, mulus tanpa hambatan. Hingga perselisihan dan rasa iri itu muncul. Saat aku diangkat naik jabatan menjadi sekretaris utama yaitu sekretaris direktur, Oliv, well... dia merasa iri padaku. Karna usut punya usut, dia menyukai bosku.

Sebenarnya aku penasaran. Apasih yang dia lihat dari Arga? Arga tampan, oke. Tapi aku tidak tertarik. Aku masih normal, ya. Hanya saja dia itu playboy. Aku juga malas menambahkan embel-embel 'pak' didepan namanya. Toh dia sendiri yang selalu meminta.

'Aku cuma beda 3 taun dari kamu, masa iya dipanggil Pak? Bisa turun nanti harga pasar aku dikalangan cewek-cewek.' Lihat? Siapa yang centil disini.

Beda 3 tahun dibilang 'cuma'. Dasar aneh. Udahlah, males juga lama-lama bahas masalah mereka berdua. Gosip orang kantor juga udah jadi rahasia umum. Oliv pernah confess cintanya ke Arga, dan Arga diem saja. Kalau kata Oliv, diam berarti iya. Nah, kalau dia confess ke orang yang sudah meninggal, berarti iya juga dong? Dan mereka "berpacaran" dalam tanda kutip.

***

"Kin? Udah nerima rekapan bulan ini belum dari kepala keuangan?"

"Sudah, itu di meja anda. Dibawah map merah," kataku sambil memandangnya sekilas dan melanjutkan acara 'mengetik' dengan notebook kesayanganku. Hadiah dari Papa dan Mama saat tau aku mendapat beasiswa di London.

"Aduh Kin, aku kan udah bilang berkali-kali, gak usah formal kalo ngomong berdua sama aku," omelnya sambil mencari cari map yang baru saja aku sebutkan. Dasar, laki laki, gitu aja gak ketemu!

Aku bangkit dari kursiku dan berjalan menuju meja Arga, mengangkat semua map diatasnya dan menunjukkan map yang dijepit dengan penjepit kertas dengan daguku.

"Oh? Hehe, sori gak liat," cengirnya sambil mengambil map-map itu. Aku hanya menggumam dan menaruh kembali map map penting diatasnya lalu kembali duduk. Oh sungguh, tidak penting.

Kalian bisa menebak kan hubunganku dengan Arga apa? Pastilah atasan dan bawahan. Hanya saja... Oke. Sebenarnya Arga adalah anak teman papaku. Jadi, bagaimana ya menjelaskannya. Intinya, aku dan Arga bisa sesantai ini karna orang tua kami. Bukan karna kita pacaran atau apa. Jangan berpikiran yang tidak tidak. Gini gitu, Arga masih pacar 'mantan' temanku, ya si Oliv itu.

"Kin? Laper gak? Ke J-Co bentar yuk dibawah,"

"Okedeh. Uang yang keluar dari dompet kamu ya tapi," Jawabku sambil berdiri dan tersenyum lebar yang berakhir mendapat cubitan panjang di pipi dari Arga.

"Kalo gratisan aja mauuu,"

"Eeeh, sakit sakit!"

***

"Kin,"

"Apa?"

"Masih laper gak?"

"Kalo mau dibeliin lagi sih ya gak papa. Masih muat,"

"Itukan maunya kamu,"

"Ya kan elo nawarin,"

"Heh. Mulai lagi kan elo-guenya. Ganti ganti! Aku. Kamu."

"Ogah," belum sedetik, tangan Arga mendarat kasar dikepalaku dan mengacak-acak rambut yang susah payah aku cepol tadi pagi.

"Apasih, Gaaa!" omelku sambil meletakkan donat yang akan aku masukkan dalam mulut. Oh sial, cream donatnya meluber ke piring.

"Rasain. Makanya kalo orang ngomong, apalagi nasehatin, itu dengerin. Jangan cuek aja. Gadapet jodoh nanti," Arga terkekeh pelan sambil mengambil kotak dari saku celana dan mengeluarkannya. Eh?

"Itu apaan?" tanyaku penasaran sambil merapikan tata letak rambutku.

"Ayah..." ucapannya terhenti dan matanya melihatku untuk waktu yang... Agak lama mungkin?

"Apaan sih?" tanyaku mendesak dan tidak sabaran. Pasti ada yang gak beres.

"Ayah... Minta aku sama kamu nikah. Buat keluarga kecil.. Ngg, terus punya anak, buat ngelanjutin Widjaya group, kalau bisa laki-laki... Biar penerusnya kuat."

Hah? Apa tadi katanya? Mabuk donat ada gak sih?

Sialan. Menikah katanya? Buat anak katanya? Dan harus laki-laki? Dikira buat anak laki-laki segampang pesen donat rasa cokelat?!

Ayah sama anak emang gak ada yang bener.

Telan aku wahai donat J-Co. Sekarang.

***

to be continued...







More Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang